Cadangan Devisa Turun, Keran Ekspor Minyak Sawit Harus Dibuka Lagi

Minggu, 15 Mei 2022 - 20:27 WIB
loading...
Cadangan Devisa Turun,...
Para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit mendesak pemerintah untuk mengevaluasi larangan CPO dan produk turunan minyak sawit termasuk olein (minyak goreng).
A A A
JAKARTA - Sejumlah indikator makro ekonomi Indonesia melemah pada periode April dan Mei tahun ini. Cadangan devisa nasional turun dan nilai tukar rupiah mulai melemah terhadap dolar AS. Selain sebagai dampak kontraksi valuta asing karena kenaikan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve, juga karena melemahnya kinerja ekspor pasca pelarangan ekspor CPO (minyak sawit mentah) dan produk turunannya.

Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2022 adalah sebesar USD135,7 miliar, atau menurun dibandingkan posisi pada akhir Maret 2022 sebesar USD139,1 miliar.

Sementara itu, pekan lalu, kurs rupiah melemah tipis 0,1% ke posisi Rp14.612 per dolar AS. Tren melemahnya kurs rupiah diperkirakan akan berlanjut hingga beberapa pekan ke depan.

(Baca juga:Menakar Efektivitas Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng)

Para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit mendesak pemerintah untuk mengevaluasi larangan ekspor CPO dan produk turunan minyak sawit termasuk olein (minyak goreng). Sebab kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap para petani sawit.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, pascaditerapkannya kebijakan tersebut, pabrik kelapa sawit (PKS) mengurangi pembelian tandan buah segar (TBS) dan menurunkan harga pembelian TBS. “Petani sawit saat ini kesulitan menjual TBSnya. Sudah sulit jual TBS, harganya pun murah,” kata Tungkot di Jakarta, Minggu (15/5/2022).

Menurut Tungkot, petani sawit di Indonesia saat ini ada sekitar 2,3 juta kepala keluarga. Mereka menggarap sekitar 6,8 juta hektare (ha) kebun sawit. “Merekalah yang merasakan kesulitan memasarkan TBS,” katanya.

(Baca juga:Pengusaha Sawit Harap Larangan Ekspor CPO Tidak Berkepanjangan)

Karena itu, lanjut Tungkot, penerapan aturan pelarangan ekspor itu jangan terlalu lama. Sebab kalau lama, kebijakan tersebut akan berdampak buruk bagi petani sawit paling tidak hingga dua tahun ke depan.

“Harga TBS turun sehingga para petani tidak sanggup membeli pupuk. Apalagi saat ini pupuk mahal. Karena tak memupuk, produksi tanaman sawitnya akan turun. Dan ini dampaknya bisa sampai dua tahun,” katanya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1904 seconds (0.1#10.140)