Inflasi Tinggi Akibat Situasi Global Harus Diantisipasi, Ini Saran Ekonom
loading...
A
A
A
JAKARTA - Inflasi tinggi tengah melanda banyak negara di dunia. Tak hanya negara berkembang, sejumlah negara maju juga mengalami lonjakan inflasi bahkan mencatatkan rekor.
Sebut saja Amerika Serikat (AS) yang pada April 2022 mengalami inflasi 8,3% secara tahunan (year on year/yoy). Meski lebih rendah dibanding Maret di level 8,5% namun tetap saja angkanya masih dalam level tertinggi dalam empat dekade.
Indonesia sendiri pada bulan April 2022 juga mencatatkan inflasi 3,47% yoy dan 0,95% secara bulanan (month-to-month/mtm). Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi 0,95% ini merupakan yang tertinggi sejak Januari 2017, di mana saat itu terjadi inflasi 0,97%.
Terkait hal itu, Ekonom sekaligus Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan, risiko inflasi menjadi ancaman serius dikarenakan empat faktor. Pertama, harga minyak mentah yang bertahan di atas USD100 per barel memicu kenaikan harga energi.
"Pelarangan ekspor atau proteksionisme yang dilakukan India terhadap gandum dan minyak nabati Rusia memicu krisis pangan. Disrupsi rantai pasok karena perang Ukraina dan lockdown di China menciptakan shortage pada pasokan pangan global," papar Bhima kepada MNC Portal Indonesia (MPI) di Jakarta, dikutip Selasa (17/5/2022).
Sementara itu, sambung dia, input produksi pertanian terus naik salah satunya karena harga pupuk yang mengalami gejolak.
Bhima menyebutkan, inflasi akan mempengaruhi daya beli masyarakat karena kecepatan kenaikan harga tidak disertai dengan naiknya pendapatan kelompok menengah bawah. Selain itu, jika inflasi naik maka garis kemiskinan akan naik dan membuat orang miskin bertambah.
"Untuk menjaga daya beli pemerintah bisa melakukan beberapa langkah taktis. Contohnya adalah subsidi upah perlu dilanjutkan dan nominalnya harus lebih tinggi dari tahun 2020-2021 lalu," imbuhnya.
Setidaknya, kata dia, satu orang pekerja mendapat Rp1,9 juta dengan asumsi 1 pekerja menanggung 3 orang anggota keluarga sehingga tidak jatuh di bawah garis kemiskinan. Hal ini berdasar pada asumsi garis kemiskinan Rp486.168 per kapita per bulan.
"Masalah pendataan perlu terus diperbaiki akurasi penerima dengan sinkronisasi data di BPJS Ketenagakerjaan maupun data riil perusahaan," ucap Bhima.
Untuk dana subsidi upah, dia menyarankan sebaiknya dicari dari windfall kenaikan penerimaan negara dari harga komoditas ekspor dan realokasi dari proyek strategis nasional.
Selain itu untuk subsidi energi agar inflasi tetap terjaga, antisipasi jangka pendeknya adalah dengan merombak APBN dan menambah alokasi subsidi energi.
"Saran subsidi energi untuk periode Mei-September naik menjadi Rp200-250 triliun. Yang paling penting BBM, listrik dan gas jenis subsidi dijaga dulu stabilitas harganya, jangan dinaikkan," tandasnya.
Sebut saja Amerika Serikat (AS) yang pada April 2022 mengalami inflasi 8,3% secara tahunan (year on year/yoy). Meski lebih rendah dibanding Maret di level 8,5% namun tetap saja angkanya masih dalam level tertinggi dalam empat dekade.
Indonesia sendiri pada bulan April 2022 juga mencatatkan inflasi 3,47% yoy dan 0,95% secara bulanan (month-to-month/mtm). Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi 0,95% ini merupakan yang tertinggi sejak Januari 2017, di mana saat itu terjadi inflasi 0,97%.
Terkait hal itu, Ekonom sekaligus Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan, risiko inflasi menjadi ancaman serius dikarenakan empat faktor. Pertama, harga minyak mentah yang bertahan di atas USD100 per barel memicu kenaikan harga energi.
"Pelarangan ekspor atau proteksionisme yang dilakukan India terhadap gandum dan minyak nabati Rusia memicu krisis pangan. Disrupsi rantai pasok karena perang Ukraina dan lockdown di China menciptakan shortage pada pasokan pangan global," papar Bhima kepada MNC Portal Indonesia (MPI) di Jakarta, dikutip Selasa (17/5/2022).
Sementara itu, sambung dia, input produksi pertanian terus naik salah satunya karena harga pupuk yang mengalami gejolak.
Bhima menyebutkan, inflasi akan mempengaruhi daya beli masyarakat karena kecepatan kenaikan harga tidak disertai dengan naiknya pendapatan kelompok menengah bawah. Selain itu, jika inflasi naik maka garis kemiskinan akan naik dan membuat orang miskin bertambah.
"Untuk menjaga daya beli pemerintah bisa melakukan beberapa langkah taktis. Contohnya adalah subsidi upah perlu dilanjutkan dan nominalnya harus lebih tinggi dari tahun 2020-2021 lalu," imbuhnya.
Setidaknya, kata dia, satu orang pekerja mendapat Rp1,9 juta dengan asumsi 1 pekerja menanggung 3 orang anggota keluarga sehingga tidak jatuh di bawah garis kemiskinan. Hal ini berdasar pada asumsi garis kemiskinan Rp486.168 per kapita per bulan.
"Masalah pendataan perlu terus diperbaiki akurasi penerima dengan sinkronisasi data di BPJS Ketenagakerjaan maupun data riil perusahaan," ucap Bhima.
Untuk dana subsidi upah, dia menyarankan sebaiknya dicari dari windfall kenaikan penerimaan negara dari harga komoditas ekspor dan realokasi dari proyek strategis nasional.
Selain itu untuk subsidi energi agar inflasi tetap terjaga, antisipasi jangka pendeknya adalah dengan merombak APBN dan menambah alokasi subsidi energi.
"Saran subsidi energi untuk periode Mei-September naik menjadi Rp200-250 triliun. Yang paling penting BBM, listrik dan gas jenis subsidi dijaga dulu stabilitas harganya, jangan dinaikkan," tandasnya.
(ind)