Petani Sawit sudah Terpuruk Dalam, Ini Opsi Petani kepada Presiden Jokowi

Jum'at, 24 Juni 2022 - 16:30 WIB
loading...
A A A
Jadi semuanya tergantung Presiden Jokowi, jika ingin membantu petani sawit mendapatkan haknya, maka opsi kedua adalah pilihan (beban hanya PE dan BK) maka harga TBS petani akan terdongkrak menjadi Rp3.400 per kg.

Namun jika tetap menggunakan opsi full beban, maka harga TBS petani Rp2.165 per kg (seperti saat ini). “Tentu ini beban yang luar biasa yang harus kami gendong sebagai petani kecil dengan keringat dan tulang kering kami sendiri,” ujar Gulat.

Saat ini semua serba salah, PKS sudah sangat terancam karena di satu sisi, PKS didesak oleh petani untuk membeli TBS mereka, namun di satu sisi tangki timbun penuh. Demikian juga dengan refinary terkendala di kecepatan ekspor karena banyaknya rintangan yang harus dilalui.

Oleh karena itu, lambatnya ekspor dari refinery mengakibatkan serapan CPO dari PKS menjadi lambat bahkan terhenti. Terhentinya atau lambatnya ekspor akan sangat berpengaruh kepada serapan TBS petani di PKS-PKS.

(Baca juga:Asosiasi Petani Sawit Tuntut Pencabutan Larangan Ekspor)

Jadi secara sederhana dikatakan bahwa anjloknya harga TBS petani diakibatkan oleh dua hal yaitu beban CPO dan lambatnya ekspor CPO dan turunannya. “Jadi kalau ada menteri yang mengatakan bahwa harga CPO memang lagi turun penyebab anjloknya harga TBS, itu salah,” kata Gulat.

Hasil rapat Apkasindo pada Selasa (21/6/2022) lalu diketahui dari 1.118 unit pabrik sawit diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi. Sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup. “Apakah ini juga karena harga CPO global lagi turun?,” tanya Gulat.

Kondisi ini sangat berdampak kepada 17 juta petani sawit dan pekerja sawit. Keluarga petani saat ini sangat menderita, sementara para petani sangat membutuhkan biaya untuk sekolah anak, berobat dan ekonomi rumah tangga. “Saat ini anak-anak kami harus berhenti sekolah sampai SMA sederajat karena ketiadaannya biaya keluarga. Dan yang sudah kuliah berencana akan cuti kuliah,” katanya.

“Kami tidak manja, kami petani sawit tidak siap dengan bansos dan kami tidak mau membebani negara. Jika harga CPO dunia memang sedang anjlok kami memahaminya. Tapi karena CPO dunia sedang baik saat ini, tapi harga TBS yang kami terima justru sebaliknya, ini yang kami protes. Karena semua dibebankan ke TBS kami petani sawit. Jadi masyarakat umum juga harus memahami dulu konteks permasalahannya,” urainya.

Gulat menegaskan semua pihak sangat dirugikan saat ini, baik petani, perusahaan, maupun negara karena kehilangan devisa yang menurut Dirjen Bea Cukai mencapai Rp32 triliun. Gulat memahami bahwa perusahaan sangat tertekan dan merugi dengan kondisi ini. Yang paling menyedihkan adalah petani kecil yang sudah rugi Rp18 triliun sejak pelarangan ekspor, namun kalau dihitung sejak masalah minyak goreng ini muncul sekitar Februari, kerugian sudah Rp30 triliun.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1757 seconds (0.1#10.140)