Penanganan Aset BLBI Bikin Pakar Gemes, Berikut Sarannya Buat Menkeu Sri Mulyani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri mengaku, gemes melihat penanganan aset BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) oleh Pemerintah. Pria yang akrab disapa kang DD ini menyarankan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani belajar dari Amerika Serikat (AS) terkait penyelamatan uang negara .
Menurutnya Sri Mulyani bisa belajar dari mantan menteri keuangan AS, Timothy Geithner. Di Negeri Paman Sam -julukan AS-, tanpa penyitaan aset, recovery asset TARP (BLBI-nya AS) bisa di atas 100%. Artinya, uang negara yang berhasil diselamatkan cukup tinggi.
Asal tahu saja, Timothy Geithner adalah presiden Federal Reserve Bank of New York dan kemudian menjadi Menteri Keuangan saat krisis berlanjut dari tahun 2008. Dia boleh dibilang pakar recovery rate dunia. Geithner mengajari dunia termasuk IMF dengan recovery assets di tengah krisis ekonomi di atas 100 persen.
Pada 2018, TARP tidak membebani pembayar pajak di Amerika Serikat sepeser pun. Sebaliknya, Departemen Keuangan AS menerima USD3 miliar lebih banyak dari USD439,6 miliar yang dicairkan. Dari jumlah itu, USD376,4 miliar telah dilunasi bank, perusahaan otomotif, dan AIG.
Apa saja hasil positif dari TARP? Kata Deni, bank dan industri mobil bertahan. Kredit bisa meningkat. Timothy tidak mencontoh kekeliruan Geithner, Korea Selatan, dan Thailand dalam mengelola recovery assets di tengah krisis dengan recovery rate yang sangat rendah.
Sebaliknya, kata Deni, Geithner menjadikan ekonomi sebagai panglima di atas pendekatan hukum. Program Bantuan Aset Bermasalah (TARP) dilembagakan oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat setelah krisis keuangan 2008.
TARP menstabilkan sistem keuangan dengan meminta pemerintah membeli sekuritas berbasis hipotek dan saham bank. Dari 2008 hingga 2010, TARP menginvestasikan USD426,4 miliar di perusahaan dan mendapatkan kembali USD441,7 miliar.
"Alhasil, perusahaan sekelas Lehman Brother dibangkrutkan agar menjadi pelajaran bagi konglomerat keuangan lainnya untuk patuh kepada pemerintah sebagai panglima ekonomi dan hukum," ungkapnya.
Mengapa Geithner berhasil? Kata Deni, karena dia didukung para doktor dalam ilmu ekonomi lulusan universitas kelas satu dunia. Jika negara lain sekarang dan di masa depan tidak mampu mencapai recovery rate sebesar minimal 100%, maka negara itu dapat dikatakan sebagai keledai.
Menurutnya Sri Mulyani bisa belajar dari mantan menteri keuangan AS, Timothy Geithner. Di Negeri Paman Sam -julukan AS-, tanpa penyitaan aset, recovery asset TARP (BLBI-nya AS) bisa di atas 100%. Artinya, uang negara yang berhasil diselamatkan cukup tinggi.
Asal tahu saja, Timothy Geithner adalah presiden Federal Reserve Bank of New York dan kemudian menjadi Menteri Keuangan saat krisis berlanjut dari tahun 2008. Dia boleh dibilang pakar recovery rate dunia. Geithner mengajari dunia termasuk IMF dengan recovery assets di tengah krisis ekonomi di atas 100 persen.
Pada 2018, TARP tidak membebani pembayar pajak di Amerika Serikat sepeser pun. Sebaliknya, Departemen Keuangan AS menerima USD3 miliar lebih banyak dari USD439,6 miliar yang dicairkan. Dari jumlah itu, USD376,4 miliar telah dilunasi bank, perusahaan otomotif, dan AIG.
Apa saja hasil positif dari TARP? Kata Deni, bank dan industri mobil bertahan. Kredit bisa meningkat. Timothy tidak mencontoh kekeliruan Geithner, Korea Selatan, dan Thailand dalam mengelola recovery assets di tengah krisis dengan recovery rate yang sangat rendah.
Sebaliknya, kata Deni, Geithner menjadikan ekonomi sebagai panglima di atas pendekatan hukum. Program Bantuan Aset Bermasalah (TARP) dilembagakan oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat setelah krisis keuangan 2008.
TARP menstabilkan sistem keuangan dengan meminta pemerintah membeli sekuritas berbasis hipotek dan saham bank. Dari 2008 hingga 2010, TARP menginvestasikan USD426,4 miliar di perusahaan dan mendapatkan kembali USD441,7 miliar.
"Alhasil, perusahaan sekelas Lehman Brother dibangkrutkan agar menjadi pelajaran bagi konglomerat keuangan lainnya untuk patuh kepada pemerintah sebagai panglima ekonomi dan hukum," ungkapnya.
Mengapa Geithner berhasil? Kata Deni, karena dia didukung para doktor dalam ilmu ekonomi lulusan universitas kelas satu dunia. Jika negara lain sekarang dan di masa depan tidak mampu mencapai recovery rate sebesar minimal 100%, maka negara itu dapat dikatakan sebagai keledai.