Krisis Energi Eropa Semakin Mencekam, Selanjutnya Batu Bara Rusia Jadi Target
loading...
A
A
A
BRUSSELS - Uni Eropa (UE) telah secara drastis mengurangi impor batu bara termal Rusia menjelang larangan penuh bulan depan. Hal ini memperparah kekhawatiran atas krisis energi yang semakin intensif di benua Eropa.
Langkah untuk membatasi ketergantungan pada bahan bakar dari Rusia menambah kekhawatiran tentang krisis energi. Tercatat hanya 1,7 juta ton batu bara Rusia terpakai untuk pembangkit listrik, yang dikirim melalui laut ke UE pada bulan Juni 2022.
Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 48% dibandingkan dengan Mei 2022 ketika kekuatan barat memperpanjang sanksi mereka terhadap Moskow usai invasi ke Ukraina. Ini menandai penurunan bulanan terbesar sejak setidaknya 2019, menurut konsultan komoditas CRU.
Eropa menerima sebagian besar pasokan batu baranya melalui pelabuhan Rotterdam. Penurunan pada bulan Juni terjadi setelah tiga bulan berturut-turut mencatatkan kenaikan impor yang stabil, bahkan ketika Rusia meningkatkan serangannya di negara tetangganya tersebut.
Analis di CRU, Dmitry Popov mengatakan, perusahaan-perusahaan Eropa telah menimbun sejumlah besar batu bara Rusia menjelang larangan impor secara penuh. Ekonomi Eropa termasuk Jerman dan Austria menjadi semakin bergantung pada batu bara karena pasokan gas Rusia yang terbatas dalam beberapa bulan terakhir.
Negara-negara itu berencana untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara tahun ini sebagai upaya menutupi kekurangan gas, yang berarti bahwa mengurangi impor dari Rusia kemungkinan akan meningkatkan biaya energi yang mengarah ke musim dingin.
Popov mengatakan, pembeli Eropa terus menurunkan volume di bawah kesepakatan yang ada pada bulan April dan Mei. Sedangkan beberapa di antaranya telah meminta semua volume kontrak mereka untuk dikirim lebih cepat dari jadwal sehingga mereka dapat menyimpan sebelum larangan.
"Kami mendengar tidak ada penyimpanan yang cukup untuk bijih besi karena ruang penyimpanan telah diambil oleh batu bara," kata Popov.
Batubara oleh sebagian negara Eropa dipandang sebagai solusi jangka pendek menggantikan gas Rusia untuk menyalakan pembangkit listrik. Aliran gas dari Rusia sudah turun 60% pada kapasitas standar mereka, sementara pemeliharaan yang direncanakan dari pipa Nord Stream 1 — pipa gas utama Rusia ke Jerman — yang dimulai pada 11 Juli, akan semakin membatasi pasokan.
Negara-negara seperti Jerman, Belanda, Austria, dan Prancis sedang menyiapkan pembangkit listrik tenaga batu bara mereka jika terjadi krisis energi darurat.
Namun, Komisi Eropa pada bulan April menyetujui larangan penuh impor untuk semua jenis batu bara Rusia, yang dijadwalkan mulai berlaku pada 10 Agustus. Embargo batu bara Rusia diklaim bakal merugikan Kremlin 8 miliar euro dalam pendapatan tahunan.
Dengan pembatasan penuh, UE sudah mulai mencari sumber alternatif komoditas tersebut. Sejak awal Maret, setelah invasi Rusia ke Ukraina pada akhir Februari, blok itu mengimpor 15,8 juta ton batubara termal lintas laut dari negara-negara selain Rusia.
Terpantau ada peningkatan 45% dibandingkan dengan periode yang sama pada pra-pandemi 2019, demikian menurut Kpler, sebuah perusahaan data komoditas. Peningkatan terbesar datang dari Afrika Selatan dan Australia, seperti diperlihatkan data Kpler.
Langkah untuk membatasi ketergantungan pada bahan bakar dari Rusia menambah kekhawatiran tentang krisis energi. Tercatat hanya 1,7 juta ton batu bara Rusia terpakai untuk pembangkit listrik, yang dikirim melalui laut ke UE pada bulan Juni 2022.
Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 48% dibandingkan dengan Mei 2022 ketika kekuatan barat memperpanjang sanksi mereka terhadap Moskow usai invasi ke Ukraina. Ini menandai penurunan bulanan terbesar sejak setidaknya 2019, menurut konsultan komoditas CRU.
Eropa menerima sebagian besar pasokan batu baranya melalui pelabuhan Rotterdam. Penurunan pada bulan Juni terjadi setelah tiga bulan berturut-turut mencatatkan kenaikan impor yang stabil, bahkan ketika Rusia meningkatkan serangannya di negara tetangganya tersebut.
Analis di CRU, Dmitry Popov mengatakan, perusahaan-perusahaan Eropa telah menimbun sejumlah besar batu bara Rusia menjelang larangan impor secara penuh. Ekonomi Eropa termasuk Jerman dan Austria menjadi semakin bergantung pada batu bara karena pasokan gas Rusia yang terbatas dalam beberapa bulan terakhir.
Negara-negara itu berencana untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara tahun ini sebagai upaya menutupi kekurangan gas, yang berarti bahwa mengurangi impor dari Rusia kemungkinan akan meningkatkan biaya energi yang mengarah ke musim dingin.
Popov mengatakan, pembeli Eropa terus menurunkan volume di bawah kesepakatan yang ada pada bulan April dan Mei. Sedangkan beberapa di antaranya telah meminta semua volume kontrak mereka untuk dikirim lebih cepat dari jadwal sehingga mereka dapat menyimpan sebelum larangan.
"Kami mendengar tidak ada penyimpanan yang cukup untuk bijih besi karena ruang penyimpanan telah diambil oleh batu bara," kata Popov.
Batubara oleh sebagian negara Eropa dipandang sebagai solusi jangka pendek menggantikan gas Rusia untuk menyalakan pembangkit listrik. Aliran gas dari Rusia sudah turun 60% pada kapasitas standar mereka, sementara pemeliharaan yang direncanakan dari pipa Nord Stream 1 — pipa gas utama Rusia ke Jerman — yang dimulai pada 11 Juli, akan semakin membatasi pasokan.
Negara-negara seperti Jerman, Belanda, Austria, dan Prancis sedang menyiapkan pembangkit listrik tenaga batu bara mereka jika terjadi krisis energi darurat.
Namun, Komisi Eropa pada bulan April menyetujui larangan penuh impor untuk semua jenis batu bara Rusia, yang dijadwalkan mulai berlaku pada 10 Agustus. Embargo batu bara Rusia diklaim bakal merugikan Kremlin 8 miliar euro dalam pendapatan tahunan.
Dengan pembatasan penuh, UE sudah mulai mencari sumber alternatif komoditas tersebut. Sejak awal Maret, setelah invasi Rusia ke Ukraina pada akhir Februari, blok itu mengimpor 15,8 juta ton batubara termal lintas laut dari negara-negara selain Rusia.
Terpantau ada peningkatan 45% dibandingkan dengan periode yang sama pada pra-pandemi 2019, demikian menurut Kpler, sebuah perusahaan data komoditas. Peningkatan terbesar datang dari Afrika Selatan dan Australia, seperti diperlihatkan data Kpler.
(akr)