Pengamat Ungkap Simalakama Proyek-proyek Infrastruktur dari China
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Tiongkok di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping sejak tahun 2013 konsisten mengeluarkan kebijakan luar negeri mercusuar, dimulai dengan Belt and Road Initiative (BRI) . Yang terbaru adalah Global Security Initiative (GSI) dan Global Development Initiative (GDI). Keduanya dikatakan saling berkelindan, menyatu secara integral yang mungkin jika dipadupadankan menjadi prakarsa keamanan dan pembangunan global Tiongkok.
Pengamat Internasional Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengungkapkan, di separuh berjalannya BRI, Pemerintah Tiongkok telah berhasil, meskipun berjalan tidak seagresif yang dibayangkan sebelumnya, memperluas pengaruh perekonomiannya di negara-negara berkembang di Asia-Pasifik, Afrika, juga Eropa Tengah dan Eropa Timur.
Mata publik mulai terbuka bahwa kebijakan BRI yang menjadi andalan Pemerintah Tiongkok saat ini untuk membantu pembangunan infrastruktur negara-negara berkembang termasuk Indonesia ternyata banyak menemui kendala. Sebut saja pembengkakan pembiayaan (kereta cepat Jakarta-Bandung), masalah hak-hak buruh (pembangunan rel kereta di Yunani), dampak lingkungan yang tidak terkendali dengan baik (pembangkit listrik berbasis batubara Emba Hulutlu di Turki), dan aksi negatif dari kelompok masyarakat lokal di berbagai negara (di antaranya Rusia, Kazakhstan, Georgia, Hongaria, dan Serbia). Belum lagi terdapat sejumlah proyek yang menghancurkan ekonomi negara tertentu, seperti Sri Lanka dan Pakistan.
“Konon negara-negara itu banyak yang ingin maju secara mendadak, ingin terlibat globalisasi masa depan, akibatnya mereka tidak sadar saat Tiongkok merancang suatu proposal yang sangat mahal dan harus mereka bayar kemudian hari. Sri Lanka sebelumnya sudah memberikan pelabuhannya untuk akses Tiongkok. Dan itu sudah menjadi bukti penyerahan kedaulatan atas wilayah tersebut, karena Tiongkok bisa kontrol (wilayah tersebut), kan? Dan hal yang sama sedang dilakukan di Timor Leste,” kata Teuku dalam keterangannya, dikutip Selasa (19/7/2022).
Menurut Reza, meski pemerintah terlihat sangat hati-hati bila berurusan dengan Tiongkok, tetapi juga sangat miskin komentar. Karena investasi Tiongkok sangat terprogram, dan diawasi langsung oleh elit Tiongkok. Mereka menjadikan BRI maupun kegiatan GDI itu menjadi benchmark hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Sehingga Negara yang bekerja sama dengan Tiongkok akan menjadi sulit menolak dan menjadi terikat.
“Ini menarik sekali, kerja sama ekonomi yang terlihat sangat lunak, ternyata di belakang memiliki resiko yang sangat besar. Dan kita tahu, pergerakan Tiongkok untuk menjadi adikuasa bertarung dengan Amerika Serikat itu sudah di depan mata. Tetapi pemerintah terkesan tidak punya nyali secara langsung mengkritik Tiongkok,” kata Reza.
Pada proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang mengundang banyak kritik. Desain awalnya dari Jepang, kemudian Tiongkok datang dengan pengembangan ide dan pemerintah setuju. “Dampaknya memang belum terasa untuk Indonesia. Karena prototype kereta api-nya kan belum ada. Karena prototype itu harus dikondisikan dengan rel yang ada. Kondisi cuaca, kondisi pergerakan bumi juga perlu diuji. Banyak aspek geologi yang belum diuji. Padahal proyeknya sudah berjalan. Dan yang terjadi perlambatan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Terbaru ada peningkatan biaya. Ini yang banyak dikritik masyarakat,” ungkap Reza.
Di sisi lain, lanjut Reza, Indonesia bagi Presiden Xi Jinping tentu memiliki kesan tersendiri, yakni pada 3 Oktober 2013 Presiden Xi merupakan kepala negara asing pertama yang menyampaikan pidato di depan anggota MPR, DPR, dan DPR RI. Meskipun lobi Dubes China Liu Jinchao pada 2 September 2013 tidak berhasil meyakinkan Badan Musyawarah (BAMUS) dan Pimpinan DPR RI untuk mempersilakan Presiden Xi Jinping berpidato di Rapat Paripurna DPR RI. Romantika pidato bersejarah kepala negara asing di komplek parlemen nasional itu tidak berarti harus mengurangi kewaspadaan Indonesia terhadap kontroversi upaya perluasan BRI di Tanah Air. Dari berbagai catatan yang ada, Pemerintah Indonesia khususnya di masa setelah Presiden Joko Widodo mendatang, harus meneliti secara seksama apa pun tawaran kerja sama Pemerintah China.
“Perjanjian apa pun harus kita hargai, dan untuk itu proyek itu harus ada evaluasi dengan benar. Dan kalau tidak benar, nanti akan persis terjadi seperti PM Mahathir Muhammad yang mengatakan proyek-proyek Tiongkok di Malaysia itu kemahalan. Jadi dia tidak mau bayar, dan harus didiskon hingga 30%,” jelas Reza.
Pengamat Internasional Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengungkapkan, di separuh berjalannya BRI, Pemerintah Tiongkok telah berhasil, meskipun berjalan tidak seagresif yang dibayangkan sebelumnya, memperluas pengaruh perekonomiannya di negara-negara berkembang di Asia-Pasifik, Afrika, juga Eropa Tengah dan Eropa Timur.
Mata publik mulai terbuka bahwa kebijakan BRI yang menjadi andalan Pemerintah Tiongkok saat ini untuk membantu pembangunan infrastruktur negara-negara berkembang termasuk Indonesia ternyata banyak menemui kendala. Sebut saja pembengkakan pembiayaan (kereta cepat Jakarta-Bandung), masalah hak-hak buruh (pembangunan rel kereta di Yunani), dampak lingkungan yang tidak terkendali dengan baik (pembangkit listrik berbasis batubara Emba Hulutlu di Turki), dan aksi negatif dari kelompok masyarakat lokal di berbagai negara (di antaranya Rusia, Kazakhstan, Georgia, Hongaria, dan Serbia). Belum lagi terdapat sejumlah proyek yang menghancurkan ekonomi negara tertentu, seperti Sri Lanka dan Pakistan.
“Konon negara-negara itu banyak yang ingin maju secara mendadak, ingin terlibat globalisasi masa depan, akibatnya mereka tidak sadar saat Tiongkok merancang suatu proposal yang sangat mahal dan harus mereka bayar kemudian hari. Sri Lanka sebelumnya sudah memberikan pelabuhannya untuk akses Tiongkok. Dan itu sudah menjadi bukti penyerahan kedaulatan atas wilayah tersebut, karena Tiongkok bisa kontrol (wilayah tersebut), kan? Dan hal yang sama sedang dilakukan di Timor Leste,” kata Teuku dalam keterangannya, dikutip Selasa (19/7/2022).
Menurut Reza, meski pemerintah terlihat sangat hati-hati bila berurusan dengan Tiongkok, tetapi juga sangat miskin komentar. Karena investasi Tiongkok sangat terprogram, dan diawasi langsung oleh elit Tiongkok. Mereka menjadikan BRI maupun kegiatan GDI itu menjadi benchmark hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Sehingga Negara yang bekerja sama dengan Tiongkok akan menjadi sulit menolak dan menjadi terikat.
“Ini menarik sekali, kerja sama ekonomi yang terlihat sangat lunak, ternyata di belakang memiliki resiko yang sangat besar. Dan kita tahu, pergerakan Tiongkok untuk menjadi adikuasa bertarung dengan Amerika Serikat itu sudah di depan mata. Tetapi pemerintah terkesan tidak punya nyali secara langsung mengkritik Tiongkok,” kata Reza.
Pada proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang mengundang banyak kritik. Desain awalnya dari Jepang, kemudian Tiongkok datang dengan pengembangan ide dan pemerintah setuju. “Dampaknya memang belum terasa untuk Indonesia. Karena prototype kereta api-nya kan belum ada. Karena prototype itu harus dikondisikan dengan rel yang ada. Kondisi cuaca, kondisi pergerakan bumi juga perlu diuji. Banyak aspek geologi yang belum diuji. Padahal proyeknya sudah berjalan. Dan yang terjadi perlambatan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Terbaru ada peningkatan biaya. Ini yang banyak dikritik masyarakat,” ungkap Reza.
Di sisi lain, lanjut Reza, Indonesia bagi Presiden Xi Jinping tentu memiliki kesan tersendiri, yakni pada 3 Oktober 2013 Presiden Xi merupakan kepala negara asing pertama yang menyampaikan pidato di depan anggota MPR, DPR, dan DPR RI. Meskipun lobi Dubes China Liu Jinchao pada 2 September 2013 tidak berhasil meyakinkan Badan Musyawarah (BAMUS) dan Pimpinan DPR RI untuk mempersilakan Presiden Xi Jinping berpidato di Rapat Paripurna DPR RI. Romantika pidato bersejarah kepala negara asing di komplek parlemen nasional itu tidak berarti harus mengurangi kewaspadaan Indonesia terhadap kontroversi upaya perluasan BRI di Tanah Air. Dari berbagai catatan yang ada, Pemerintah Indonesia khususnya di masa setelah Presiden Joko Widodo mendatang, harus meneliti secara seksama apa pun tawaran kerja sama Pemerintah China.
“Perjanjian apa pun harus kita hargai, dan untuk itu proyek itu harus ada evaluasi dengan benar. Dan kalau tidak benar, nanti akan persis terjadi seperti PM Mahathir Muhammad yang mengatakan proyek-proyek Tiongkok di Malaysia itu kemahalan. Jadi dia tidak mau bayar, dan harus didiskon hingga 30%,” jelas Reza.