Soal Pelabelan BPA Galon Disebut Membingungkan, BPOM Perlu Menjelaskan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana Badan Pengawasan Obat dan Makanan ( BPOM ) untuk melakukan pelabelan BPA pada galon isi ulang dinilai menimbulkan kegaduhan di kalangan bisnis dan masyarakat konsumen. Terkait hal ini, Direktur Salemba Institute Edi Homaidi mendesak adanya pengawasan.
"Ada empat instansi yang terlibat untuk urusan ini. Jadi BPOM bukan satu-satunya. Persoalannya, empat instansi tersebut mengusulkan rekomendasi perlunya pengawasan dan penindakan. Bukan seperti kemauan BPOM kasih label di galon. Nah, ada apa kok BPOM ngotot?" ujar Edi kepada wartawan, Jumat (22/7/2022).
Menurutnya, sikap BPOM itu juga tampak dari langkahnya mencabut laporan sebelumnya pada Desember 2020 tentang berita dan informasi hoaks yang beredar di media sosial (medsos), sebagai berita hoaks atau disinformasi. Belum sampai 2 tahun, BPOM berubah sikap dan menyatakan bahwa berita tentang bahaya BPA pada galon bukan disinformasi.
“Ini jelas membingungkan dan mencurigakan. Kalau benar berbahaya tindakan BPOM bukan melabeli tetapi menarik produk. Dan ingat bukan hanya galon saja yang ber BPA, banyak produk lain yang mengandung BPA seperti makanan kaleng dan botol susu, itu semua harus dinyatakan sebagai berbahaya,” terangnya.
Diketahui sebelumnya, BPOM menyebut bahwa kandungan BPA dalam kemasan isi ulang yang beredar itu telah memenuhi syarat ambang batas yang berarti aman digunakan dan tidak berbahaya bagi kesehatan.
Namun hanya dalam waktu satu setengah tahun, BPOM membuat narasi yang berbeda dengan menyebut bahwa kandungan BPA pada plastik berbahaya. Berdasarkan penelitian BPOM sepanjang 2021-2022, BPA pada galon berbahaya karena ditemukan luruh bersama air yang dikonsumsi publik.
" Dalam waktu setahun lebih, penelitiannya langsung berubah 180 derajat. Memang ada apa fenomena kejadian atau cuaca apa di Indonesia kok tiba-tiba galon yang bertahun-tahun dinyatakan aman dalam satu tahun kemudian luruh?"
"Apa ada kenaikan suhu selama setahun terakhir? BPOM perlu jelaskan ini. Ilmu itu ada latar belakang dan prosesnya bukan mendadak terjadi," tandas Edi.
"Ada empat instansi yang terlibat untuk urusan ini. Jadi BPOM bukan satu-satunya. Persoalannya, empat instansi tersebut mengusulkan rekomendasi perlunya pengawasan dan penindakan. Bukan seperti kemauan BPOM kasih label di galon. Nah, ada apa kok BPOM ngotot?" ujar Edi kepada wartawan, Jumat (22/7/2022).
Menurutnya, sikap BPOM itu juga tampak dari langkahnya mencabut laporan sebelumnya pada Desember 2020 tentang berita dan informasi hoaks yang beredar di media sosial (medsos), sebagai berita hoaks atau disinformasi. Belum sampai 2 tahun, BPOM berubah sikap dan menyatakan bahwa berita tentang bahaya BPA pada galon bukan disinformasi.
“Ini jelas membingungkan dan mencurigakan. Kalau benar berbahaya tindakan BPOM bukan melabeli tetapi menarik produk. Dan ingat bukan hanya galon saja yang ber BPA, banyak produk lain yang mengandung BPA seperti makanan kaleng dan botol susu, itu semua harus dinyatakan sebagai berbahaya,” terangnya.
Diketahui sebelumnya, BPOM menyebut bahwa kandungan BPA dalam kemasan isi ulang yang beredar itu telah memenuhi syarat ambang batas yang berarti aman digunakan dan tidak berbahaya bagi kesehatan.
Namun hanya dalam waktu satu setengah tahun, BPOM membuat narasi yang berbeda dengan menyebut bahwa kandungan BPA pada plastik berbahaya. Berdasarkan penelitian BPOM sepanjang 2021-2022, BPA pada galon berbahaya karena ditemukan luruh bersama air yang dikonsumsi publik.
" Dalam waktu setahun lebih, penelitiannya langsung berubah 180 derajat. Memang ada apa fenomena kejadian atau cuaca apa di Indonesia kok tiba-tiba galon yang bertahun-tahun dinyatakan aman dalam satu tahun kemudian luruh?"
"Apa ada kenaikan suhu selama setahun terakhir? BPOM perlu jelaskan ini. Ilmu itu ada latar belakang dan prosesnya bukan mendadak terjadi," tandas Edi.
(akr)