Lagi, The Fed Kerek Suku Bunga 75 Basis Poin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve atau The Fed resmi mengumumkan kenaikan suku bunga acuan sebesar tiga perempat poin atau 75 bps pada pertemuan dewan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (FOMC).
Para pejabat Fed memilih dengan suara bulat keputusan tersebut yang membuat patokan suku bunga AS berada di kisaran 2,25% - 2,5%.
Kenaikan 75 basis poin ini mengangkat patokan suku bunga Fed berada di kisaran 2,25% - 2,5%. Ini juga menandai kenaikan suku bunga keempat Fed sejak Maret, dan merupakan laju pengetatan tercepat sejak 1981, dikutip dari Associated Press (AP), Kamis (28/7/2022) dini hari.
Tingkat suku bunga AS saat ini menyamai siklus pengetatan di tahun 2016-2018, yang membawa suku bunga acuan ke wilayah yang dianggap Fed netral, yakni tidak mendorong atau memperlambat ekonomi.
Sebelumnya, sejumlah pengamat memproyeksikan Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, melanjutkan kenaikan yang sama pada pertemuan Juni lalu.
Gubernur Fed Jerome Powell menegaskan langkah ini diambil demi menahan gejolak inflasi, mengingat indeks harga konsumen AS mengalami lonjakan cukup signifikan pada periode terakhir sebesar 9,1% yoy, yang notabene tertinggi sejak 1981.
Dengan suku bunga pinjaman yang tinggi, maka hal itu akan membuat warga AS akan membayar lebih mahal atas cicilan rumah, pinjaman mobil ataupun kredit bisnis sejenis.
Pada gilirannya, dengan kondisi seperti itu, maka konsumen kemungkinan akan mengurangi aktivitas peminjaman dan urusan belanja barang, yang diharapkan dapat mendinginkan ekonomi dan memperlambat laju inflasi.
Namun, hal tersebut dikhawatirkan dapat memukul pertumbuhan ekonomi AS dan membawanya masuk dalam jurang resesi.
Sejumlah analis sebelumnya meyakini tanda-tanda bahwa ekonomi Paman Sam bakal melambat dan bahkan mungkin menyusut pada paruh pertama tahun ini.
Seiring hal itu, kekhawatiran terhadap Fed pun semakin menguat bahwa mereka akan bertindak lebih agresif yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang dapat menyebabkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya pengangguran.
Sementara itu, lonjakan inflasi dan ketakutan akan resesi juga telah mengikis kepercayaan konsumen dan menimbulkan kecemasan publik terkait kondisi makro ekonomi.
Hal tersebut juga mengirimkan sinyal waspada bagi negara-negara berkembang yang masih bergantung terhadap investasi asing yang menggunakan mata uang dolar.
Para pejabat Fed memilih dengan suara bulat keputusan tersebut yang membuat patokan suku bunga AS berada di kisaran 2,25% - 2,5%.
Kenaikan 75 basis poin ini mengangkat patokan suku bunga Fed berada di kisaran 2,25% - 2,5%. Ini juga menandai kenaikan suku bunga keempat Fed sejak Maret, dan merupakan laju pengetatan tercepat sejak 1981, dikutip dari Associated Press (AP), Kamis (28/7/2022) dini hari.
Tingkat suku bunga AS saat ini menyamai siklus pengetatan di tahun 2016-2018, yang membawa suku bunga acuan ke wilayah yang dianggap Fed netral, yakni tidak mendorong atau memperlambat ekonomi.
Sebelumnya, sejumlah pengamat memproyeksikan Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, melanjutkan kenaikan yang sama pada pertemuan Juni lalu.
Gubernur Fed Jerome Powell menegaskan langkah ini diambil demi menahan gejolak inflasi, mengingat indeks harga konsumen AS mengalami lonjakan cukup signifikan pada periode terakhir sebesar 9,1% yoy, yang notabene tertinggi sejak 1981.
Dengan suku bunga pinjaman yang tinggi, maka hal itu akan membuat warga AS akan membayar lebih mahal atas cicilan rumah, pinjaman mobil ataupun kredit bisnis sejenis.
Pada gilirannya, dengan kondisi seperti itu, maka konsumen kemungkinan akan mengurangi aktivitas peminjaman dan urusan belanja barang, yang diharapkan dapat mendinginkan ekonomi dan memperlambat laju inflasi.
Namun, hal tersebut dikhawatirkan dapat memukul pertumbuhan ekonomi AS dan membawanya masuk dalam jurang resesi.
Sejumlah analis sebelumnya meyakini tanda-tanda bahwa ekonomi Paman Sam bakal melambat dan bahkan mungkin menyusut pada paruh pertama tahun ini.
Seiring hal itu, kekhawatiran terhadap Fed pun semakin menguat bahwa mereka akan bertindak lebih agresif yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang dapat menyebabkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya pengangguran.
Sementara itu, lonjakan inflasi dan ketakutan akan resesi juga telah mengikis kepercayaan konsumen dan menimbulkan kecemasan publik terkait kondisi makro ekonomi.
Hal tersebut juga mengirimkan sinyal waspada bagi negara-negara berkembang yang masih bergantung terhadap investasi asing yang menggunakan mata uang dolar.
(ind)