Indonesia Dinilai Cukup Kuat di Tengah Perlambatan Ekonomi Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kondisi perekonomian dunia saat ini sedang carut marut, namun ekonomi Indonesia dinilai menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Kondisi ini dimungkinkan karena Indonesia secara geografis jauh dari daerah konflik geopolitik serta cukup diuntungkan oleh kondisi harga komoditas yang tinggi.
Hal itu diungkapkan Ni Made, CIO PT Principal Asset Management dalam Webinar Market Outlook 2022 dari Principal Indonesia yang bertajuk “Potential Economic Downturn in 2022 & 2023: Challenges & Solutions”, yang diadakan, Kamis (8/9/2022).
Kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi awal September ini, kata Ni Made Muliartini, menjadi langkah penting pemerintah walaupun menghadapi banyak tentangan dari masyarakat. Inflasi diperkirakan akan meningkat untuk beberapa bulan ke depan terlebih pengusaha kemungkinan akan membebankan kenaikan BBM ini ke dalam harga produknya.
Namun, pasar saham cukup resilient dalam menghadapi kondisi ekonomi yang menantang ini terutama lebih banyak ditopang oleh investor individu serta arus masuk investor asing yang masih positif hingga akhir Agustus. Sementara itu di pasar obligasi tercatat kepemilikan asing yang makin menurun ke level terendah di 15%,” kata Ni Made.
(Baca juga:Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia)
Walaupun pasar saham memiliki valuasi yang tidak murah lagi, lanjut Ni Made, namun laporan keuangan emiten yang sebagian besar baik, serta outlook perekonomian yang masih bagus, diperkirakan akan menjadi penopang jika terdapat koreksi. “Sementara pada obligasi, strategi yang diterapkan masih pada durasi pendek untuk mengantisipasi fluktuasi dalam jangka pendek ini,” papar Ni Made.
Sementara itu, CIO Fixed Income for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Jesse Liew mengatakan kinerja obligasi pada 2019 dan 2020 sangat baik karena adanya tren penurunan suku bunga di seluruh dunia akibat kondisi pandemi. Namun mulai berbalik arah pada 2021-2022 saat ekpektasi peningkatan suku bunga mulai diperkirakan akan terjadi.
Jika suku bunga bank sentral dikurangkan dengan inflasi, kata Jesse Liew, banyak negara telah berada pada posisi suku bunga riil negatif, termasuk Indonesia. Pada saat yang bersamaan, pasar modal saat ini telah memperhitungkan probabilitas resesi yang cukup tinggi di negara maju seperti Amerika dan Eropa.
(Baca juga:New Normal Bisa Menggairahkan Ekonomi Indonesia)
Seiring dengan resiko resesi yang cukup tinggi, lanjut Jesse Liew, pasar juga memperkirakan kenaikan suku bunga akan lebih moderat di 2023 akibat adanya kemungkinan perlambatan pertumbuhan. Oleh karena kondisi kurang kondusif, permintaan obligasi di Eropa dan Amerika berkurang drastis dan memicu arus keluar dari obligasi.
Hal itu diungkapkan Ni Made, CIO PT Principal Asset Management dalam Webinar Market Outlook 2022 dari Principal Indonesia yang bertajuk “Potential Economic Downturn in 2022 & 2023: Challenges & Solutions”, yang diadakan, Kamis (8/9/2022).
Kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi awal September ini, kata Ni Made Muliartini, menjadi langkah penting pemerintah walaupun menghadapi banyak tentangan dari masyarakat. Inflasi diperkirakan akan meningkat untuk beberapa bulan ke depan terlebih pengusaha kemungkinan akan membebankan kenaikan BBM ini ke dalam harga produknya.
Namun, pasar saham cukup resilient dalam menghadapi kondisi ekonomi yang menantang ini terutama lebih banyak ditopang oleh investor individu serta arus masuk investor asing yang masih positif hingga akhir Agustus. Sementara itu di pasar obligasi tercatat kepemilikan asing yang makin menurun ke level terendah di 15%,” kata Ni Made.
(Baca juga:Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia)
Walaupun pasar saham memiliki valuasi yang tidak murah lagi, lanjut Ni Made, namun laporan keuangan emiten yang sebagian besar baik, serta outlook perekonomian yang masih bagus, diperkirakan akan menjadi penopang jika terdapat koreksi. “Sementara pada obligasi, strategi yang diterapkan masih pada durasi pendek untuk mengantisipasi fluktuasi dalam jangka pendek ini,” papar Ni Made.
Sementara itu, CIO Fixed Income for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Jesse Liew mengatakan kinerja obligasi pada 2019 dan 2020 sangat baik karena adanya tren penurunan suku bunga di seluruh dunia akibat kondisi pandemi. Namun mulai berbalik arah pada 2021-2022 saat ekpektasi peningkatan suku bunga mulai diperkirakan akan terjadi.
Jika suku bunga bank sentral dikurangkan dengan inflasi, kata Jesse Liew, banyak negara telah berada pada posisi suku bunga riil negatif, termasuk Indonesia. Pada saat yang bersamaan, pasar modal saat ini telah memperhitungkan probabilitas resesi yang cukup tinggi di negara maju seperti Amerika dan Eropa.
(Baca juga:New Normal Bisa Menggairahkan Ekonomi Indonesia)
Seiring dengan resiko resesi yang cukup tinggi, lanjut Jesse Liew, pasar juga memperkirakan kenaikan suku bunga akan lebih moderat di 2023 akibat adanya kemungkinan perlambatan pertumbuhan. Oleh karena kondisi kurang kondusif, permintaan obligasi di Eropa dan Amerika berkurang drastis dan memicu arus keluar dari obligasi.