Kehilangan Pasokan Gas Rusia Memaksa Jerman Merogoh Kocek Rp 7.258 Triliun

Minggu, 18 Desember 2022 - 06:20 WIB
loading...
Kehilangan Pasokan Gas Rusia Memaksa Jerman Merogoh Kocek Rp 7.258 Triliun
Jerman terus merogoh koceknya dalam-dalam untuk menjaga lampu tetap menyala, usai kehilangan akses ke gas Rusia. Hampir setengah triliun dolar dikeluarkan dan terus bertambah sejak perang Ukraina. Foto/Dok
A A A
FRANKFURT - Jerman mengeluarkan uang tunai yang tidak sedikit untuk menjaga lampu tetap menyala, usai kehilangan akses ke gas Rusia . Hampir setengah triliun dolar dirogoh Jerman dan terus bertambah, sejak perang Ukraina membuatnya mengalami krisis energi sembilan bulan lalu.



Secara kumulatif menurut perhitungan Reuters, itulah dana talangan dan skema yang telah diluncurkan pemerintah Berlin untuk menopang sistem energi negara itu sejak lonjkan harga energi dan kehilangan akses ke gas dari pemasok utama Rusia.

"Seberapa parah krisis ini dan berapa lama krisis ini akan berlangsung, sangat tergantung pada bagaimana krisis energi akan berkembang," kata Michael Groemling dari German Economic Institute (IW).

"Ekonomi nasional secara keseluruhan menghadapi kehilangan kekayaan yang sangat besar," sambungnya.



Uang yang disisihkan mencapai hingga 440 miliar euro (USD 465 miliar) menurut perhitungan kasar, yang bertujuan untuk menghindari kehabisan daya dan mengamankan sumber energi baru.

Hal itu setara dengan sekitar 1,5 miliar euro sehari sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, lalu. Atau sekitar 12% dari output ekonomi nasional. Atau sekitar 5.400 euro untuk setiap orang di Jerman.

Ekonomi terbesar di Eropa tersebut, telah lama menjadi acuan untuk perencanaan yang bijaksana, namun saat ini tengah menghadapi krisis yang berpengaruh besar terhadap perekonomian. Penjatahan energi menjadi risiko yang harus diambil, apabila musim dingin berlangsung lebih lama dan ini menjadi pertama kalinya buat Jerman dalam setengah abad tanpa Rusia.

Negara ini telah beralih mengeluarkan banyak uang untuk menggantikan beberapa pasokan Rusia yang hilang, serta membantu mendorong inflasi menjadi dua digit. Namun keamaan energi belum terlihat, dengan dorongan untuk membangun dua alternatif demi menghilangkan ketergantungan bahan bakar Rusia yakni gas alam cair (LNG) dan energi terbarukan.

"Ekonomi Jerman sekarang berada dalam fase yang sangat kritis karena masa depan pasokan energi lebih tidak pasti dari sebelumnya," kata Stefan Kooths, wakil presiden dan direktur penelitian siklus bisnis dan pertumbuhan di Kiel Institute for the World Economy.

"Di mana posisi ekonomi Jerman? Kalau kita lihat inflasi harga, demamnya tinggi," bebernya.

Soal penghitungan uang yang diperkirakan Reuters, hal itu merujuk pada data kementerian keuangan Jerman di situs webnya. Kementerian ekonomi, yang bertanggung jawab atas keamanan energi, mengatakan, pihaknya terus bekerja untuk mendiversifikasi pasokan.

Ditambahka juga bahwa LNG dan terminal yang diperlukan untuk mengimpornya adalah bagian penting dari hal itu. Ketahanan yang lebih mahal memang akan menyakitkan bagi ekonomi yang sudah diperkirakan akan menyusut paling banyak di antara negara-negara G7 tahun depan, menurut Dana Moneter Internasional (IMF).

Tagihan impor energi Jerman diproyeksi bakal tumbuh sebesar 124 miliar euro tahun ini dan berikutnya naik dari pertumbuhan 7 miliar untuk tahun 2020 dan 2021, menurut data yang diberikan oleh Kiel Institute. Kondisi ini menghadirkan tantangan besar bagi industri dengan kebutuhan energi intens di negara itu.

Sektor bahan kimia di Jerman menjadi yang paling terpapar dari kenaikan biaya listrik, hingga diperkirakan mempengaruhi produksi yang akan turun 8,5% pada tahun 2022, menurut asosiasi industri VCI. Mereka juga memperingatkan, terjadinya "kerusakan struktural besar dalam lanskap industri Jerman".

Mendekati Pengeluaran Covid

Dana sebesar 440 miliar euro atau setara Rp7.258 triliun (Kurs Rp 16.496 per euro) yang dialokasikan untuk memerangi krisis energi sudah mendekati sekitar 480 miliar euro yang menurut IW telah dihabiskan Jerman sejak 2020 untuk melindungi ekonominya dari dampak pandemi COVID-19.

Uang itu termasuk empat paket bantuan senilai 295 miliar euro, termasuk bailout 51,5 miliar euro dari perusahaan listrik Uniper (UN01.DE) dan paket penyelamatan 14 miliar untuk Sefe, yang sebelumnya dikenal sebagai Gazprom Germania.

Lalu likuiditas hingga 100 miliar untuk utilitas agar mengamankan penjualan mereka dari default; dan sekitar 10 miliar untuk infrastruktur dalam menopang impor LNG.

Jumlah tersebut juga termasuk komitmen yang sebelumnya tidak dilaporkan sebesar 52,2 miliar euro oleh pemberi pinjaman negara KfW (KFW. UL) untuk membantu utilitas dan pedagang mengisi penyimpanan gas, membeli batu bara, mengganti sumber pengadaan gas dan menutupi beberapa margin call, menurut data KfW yang ditinjau oleh Reuters.

Terlepas dari upaya ini, ada sedikit kepastian tentang bagaimana negara itu dapat menggantikan pasokan gas Rusia. Tercatat Jerman mengimpor sekitar 58 miliar meter kubik (bcm) gas dari Rusia tahun lalu, menurut data dari Eurostat dan asosiasi industri Jerman BDEW, mewakili sekitar 17% dari total konsumsi energinya.

Jerman menginginkan energi terbarukan menyumbang setidaknya 80% dari produksi listrik pada tahun 2030, naik dari 42% pada tahun 2021. Namun pada tingkat ekspansi baru-baru ini, tetap menjadi tujuan yang masih jauh untuk dicapai.

Jerman hanya memasang 5,6 gigawatt (GW) kapasitas surya dan 1,7 GW kapasitas angin dari darat pada 2021. Untuk mencapai tujuan 80%, instalasi angin baru perlu ditingkatkan sekitar enam kali lipat hingga 10 GW per tahun, menurut laporan Oktober oleh pemerintah federal dan negara bagian Jerman. Instalasi tenaga surya harus empat kali lipat setiap tahun menjadi 22 GW.

Peneliti kebijakan senior dari European Council on Foreign Relations (ECFR), Susi Dennison mengatakan, bahwa sementara Jerman telah melakukan "pekerjaan plester yang baik" dengan mengganti volume gas dengan daya dari pasar spot. Di saat yang sama Jerman telah kehilangan posisinya sebagai pemimpin atau pelopor dalam energi bersih.

"Bagi saya apa yang benar-benar tidak ada dalam strategi Jerman adalah perhatian yang mirip dengan peningkatan energi terbarukan dengan cepat. Bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk berinvestasi dalam infrastruktur hidrogen dan tenaga angin, untuk menggantikan gas," ungkapnya.

Rencana LNG Jerman

Pada bulan Maret, Menteri Ekonomi Robert Habeck menetapkan target menggantikan energi Rusia pada pertengahan 2024, meskipun banyak ekonom dan pelaku industri listrik percaya ini terlalu ambisius.

Misalnya Marcel Fratzscher, presiden Institut Penelitian Ekonomi Jerman, dan Markus Krebber, CEO produsen listrik terbesar Jerman RWE (RWEG.DE), menganggap hal itu akan terjadi tidak lebih cepat dari 2025. Dengan catatan hanya berhasil, apabila sumber alternatif ditemukan atau diperluas dengan cepat.

Menurutnya untuk LNG, juga ada gunung untuk didaki. Pasalnya, Jerman tidak memiliki infrastruktur LNG sendiri karena ketergantungannya untuk waktu lama pada gas Rusia. Jadi baru sekarang mereka mulai membangun kemampuan impor LNG-nya.

Saat ini, Jerman berencana mengandalkan enam terminal impor terapung sebagian bantuan mendiversifikasi pasokan gas, yang pertama akan tiba pada hari Kamis. Tiga lainnya dijadwalkan online musim dingin ini, dengan sisanya akan dikerahkan pada akhir 2023, sehingga total kapasitas menjadi setidaknya 29,5 bcm per tahun.

RWE, Uniper, dan rekan yang lebih kecil EnBW (EBKG.DE) telah berjanji untuk menjaga volume serta memastikan terminal berjalan dengan kapasitas penuh hingga akhir Maret 2024. Meskipun demikian, masih belum jelas dari mana volume itu akan berasal.

Jerman sejauh ini baru mencapai dua kesepakatan LNG perusahaan sejak penghentian total pasokan gas Rusia di musim panas. Di antaranya perjanjian jangka pendek untuk dua musim dingin berikutnya, menurut data dari ECFR.

Pertama adalah kontrak 1 bcm setahun antara Woodside dan Uniper Australia, yang sejak itu menjadi subjek bailout perusahaan terbesar yang pernah ada di Jerman. Yang kedua terjadi antara Abu Dhabi National Oil Company dan RWE, dimana mencakup pengiriman 137.000 meter kubik pada bulan Desember dan pengiriman lebih lanjut yang tidak ditentukan pada tahun 2023.

Uniper dan RWE mengatakan, mereka akan dapat memastikan pasokan lebih lanjut melalui portofolio LNG mereka, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Sementara EnBW mengatakan kontrak pasokan masih dikerjakan dan sedang mencari peluang di pasar.

Jadwal padat perjalanan Habeck dan Kanselir Olaf Scholz menunjukkan kesulitan dalam mengamankan kesepakatan jangka panjang utama, sehingga dapat menyapih Jerman dari pasar spot yang lebih mahal. Mereka telah melintasi dunia tahun ini untuk berburu volume tambahan, termasuk perjalanan ke Kanada, Qatar, dan Norwegia.

"Saya pikir Jerman telah melakukan apa pun yang bisa dilakukannya," kata Giovanni Sgaravatti, analis riset di think-tank Bruegel.

"Di pasar LNG, Jerman harus memulai dari awal, yang mana tidaklah mudah," terangnya.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1659 seconds (0.1#10.140)