Kaleidoskop 2022: Perang jadi Biang Masalah, Indonesia Malah Ketiban Berkah

Sabtu, 31 Desember 2022 - 18:59 WIB
loading...
Kaleidoskop 2022: Perang jadi Biang Masalah, Indonesia Malah Ketiban Berkah
Indonesia mendapat berkah dari melonjaknya harga komoditas seperti minyak sawit mentah atau CPO pada tahun 2022. Foto/SINDOnews/Yorri Farli
A A A
JAKARTA - Tahun 2022 akan dikenang sebagai tahun yang berat dalam sejarah perekonomian global maupun domestik. Di sisi lain, Indonesia menikmati berkah dari melonjaknya harga komoditas ke level tertinggi.

Perang Rusia-Ukraina , lonjakan inflasi, kenaikan harga komoditas pangan, kenaikan suku bunga acuan di tingkat global, pelemahan rupiah, hingga perlambatan ekonomi China merupakan sederet alasan mengapa tahun 2022 akan dikenang sebagai tahun yang berat.

Padahal, semula dunia dan Indonesia memasuki tahun 2022 dengan penuh optimisme. Ekonomi global yang mulai pulih, melandainya kasus Covid-19 yang mendorong peningkatan mobilitas masyarakat, membuat banyak lembaga hingga pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk tahun ini.

Pada APBN 2022, target ekonomi Indonesia ditetapkan sebesar 5,2%. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksi ekonomi Tanah Air tumbuh 5,6% sementara Bank Dunia sebesar 5,2%.

Namun, ‘bencana’ besar dan berkepanjangan datang tanpa diduga. Ketegangan Rusia-Ukraina berujung pada invasi Negara Beruang Merah ke Ukraina pada 24 Februari 2022.

Perang kemudian mengubah optimisme menjadi kekhawatiran. Perang juga melambungkan harga komoditas ke level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Harga batu bara mencatatkan rekor tertingginya sebanyak dua kali pada tahun ini yakni pada 2 Maret saat harga menyentuh level USD446 per ton dan 5 September di posisi USD463,75 per ton.

Harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) juga menembus rekor baru pada 29 April ke posisi 7.104 ringgit per ton. Harga nikel menembus USD27.000 per ton pada 4 Maret dan melewati level tertinggi di Februari 2011.

Sementara itu, harga emas pada 8 Maret sempat melesat ke USD2.069,89 per troy ons, mendekati rekor tertinggi di level USD2.072,49 yang dicapai pada 7 Agustus 2020.

Pada 7 Maret, minyak mentah jenis Brent meroket hingga nyaris menembus USD 140 per barel, tepatnya USD139,13 per barel. Ini merupakan level tertinggi dalam 13 tahun terakhir, tepatnya sejak 15 Juli 2008.



Harga komoditas pangan seperti gandum juga ikut terbang tinggi. Merujuk data International Grains Council (IGC) Market Indicator, harga gandum di pasar dunia pada bulan Maret mencapai USD335 per ton atau melonjak 46% dibanding posisi tahun lalu di USD229 per ton.

Lonjakan harga komoditas terjadi karena dua hal yakni adanya gangguan logistik serta kekhawatiran menipisnya pasokan. Rusia dan Ukraina adalah pemasok utama komoditas pangan dan energi. Sebagai contoh untuk komoditas gandum, kedua negara tersebut memasok 25% gandum global.

Harga energi dan pangan yang melonjak ini langsung berimbas pada laju inflasi, terutama di Eropa. Benua Biru selama ini menggantungkan pasokan energi dari Rusia, sehingga perang membuat pasokan terhambat.

Uni Eropa juga memilih melakukan embargo dengan melarang impor batu bara dari Rusia. Kondisi ini membuat harga energi di kawasan tersebut melambung.

Lonjakan inflasi pun tak terelakkan. Sejumlah negara mencatatkan inflasi tertingginya dalam 30 tahun terakhir atau bahkan dalam sejarah.

Jerman, misalnya, mencatatkan inflasi 10,4% pada Oktober yang merupakan rekor tertingginya dalam sejarah negara tersebut. Sementara inflasi Inggris meloncat ke 11,1% di Oktober yang merupakan rekor tertinggi dalam 41 tahun.

Inflasi di Amerika Serikat (AS) juga meroket ke level tertingginya dalam 40 tahun lebih pada Juni 2022 sebesar 9,1% secara tahunan (year-on-year/yoy), tertinggi sejak November 1981.



Lonjakan inflasi ini membuat bank sentral memberlakukan kebijakan yang tidak populer yaitu menaikkan suku bunga acuan secara agresif.

Bank sentral AS The Federal Reserve atau The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 425 basis poin (bps) sejak Maret menjadi 4,25-4,50%, di mana kenaikan teranyar dilakukan pada Rabu (14/12) sebesar 50 bps.

Langkah The Fed menaikkan suku bunga ke titik tertinggi dalam 15 tahun itu menandakan pertempuran bank sentral melawan inflasi masih jauh dari selesai.

Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga sudah menaikkan suku bunga acuan secara beruntun sejak Desember dari 0,10% pada Desember 2021 menjadi 3,5% pada Desember 2022.

Lonjakan inflasi dan kebijakan moneter ketat bank sentral kini memicu ancaman baru yaitu resesi. Dua motor utama ekonomi dunia yakni AS dan China sudah menunjukan perlambatan global, sementara ancaman resesi di kawasan Eropa sudah di depan mata.

Negeri Paman Sam bahkan secara teknikal sudah di jurang resesi saat mencatatkan kontraksi pertumbuhan pada kuartal I dan II tahun ini. Adapun ekonomi China melambat menjadi 3,9% yoy pada kuartal III/2022, lebih rendah dari kuartal III/2021 yang tercatat 4,9%.

Menyusul perlambatan ekonomi global, Dana Moneter Internasional atau IMF dan Bank Dunia pun melakukan revisi terhadap proyeksi pertumbuhan global. IMF bahkan sudah merevisi sebanyak tiga kali.

Dua Wajah Ekonomi Domestik Tahun Ini
Bila perang membuat banyak negara lain menderita, Indonesia justru menikmati berkah. Status net eksportir komoditas membuat Indonesia kelimpahan rezeki berupa lonjakan ekspor hingga melambungnya penerimaan negara.

Sebagai catatan, Indonesia adalah eksportir terbesar dunia untuk batu bara thermal, produsen terbesar CPO, dan juga penghasil terbesar nikel.

Berkah harga komoditas membuat Indonesia mampu mencatatkan surplus negara perdagangan selama 31 bulan beruntun hingga November. BPS mencatat pada November surplus mencapai USD5,16 miliar. Adapun rekor surplus pada April yaitu senilai USD7,56 miliar.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1108 seconds (0.1#10.140)