Kaleidoskop 2022: Perang jadi Biang Masalah, Indonesia Malah Ketiban Berkah

Sabtu, 31 Desember 2022 - 18:59 WIB
loading...
A A A
Secara kumulatif Januari-November 2022 surplus neraca perdagangan menembus USD50,59 miliar. Jumlah ini melonjak dibandingkan periode yang sama tahun 2021 yang tercatat surplus USD34,41 miliar.

Kenaikan harga komoditas juga membuat kantong negara tambah tebal. Pemerintah memperkirakan ada tambahan penerimaan Rp420 triliun sebagai dampak kenaikan harga komoditas pangan dan global.

Tebalnya kantong penerimaan ini membuat pemerintah mencatatkan surplus APBN dari Januari hingga September 2022, dengan surplus terbesar pada Mei yaitu Rp132,2 triliun.

Tambahan penerimaan juga membantu pemerintah dalam mengurangi dampak kenaikan harga komoditas pangan dan energi global.

Di sisi lain, pemerintah memilih untuk menahan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dan bahkan menambah bantuan sosial dengan dana dari berkah komoditas. Namun, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM subsidi pada 3 September 2022.

Tak hanya pemerintah yang diuntungkan, lonjakan harga komoditas juga menopang pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi produsen utama komoditas. Sebut saja Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, hingga Papua.

Sementara itu, seperti halnya negara lain, pada tahun ini Indonesia juga dihadapkan pada masalah pelik inflasi. Tekanan inflasi datang dari dua penyebab yang berbeda pada dua periode yang berbeda pula.

Pada awal tahun hingga pertengahan tahun 2022, tekanan inflasi datang dari kelompok harga bergejolak atau volatile. Sejumlah bahan pangan bergantian menjadi pemicu inflasi mulai dari minyak goreng, cabai, telur ayam ras, daging ayam ras, hingga beras.

Paling bikin kisruh adalah harga minyak goreng yang terus melambung dari awal tahun hingga Maret. Pada awal Maret, minyak goreng bahkan sempat “menghilang” dari pasaran dan harganya meroket hingga Rp60.000 per liter di sejumlah daerah.

Kebijakan minyak goreng yang bergonta-ganti menjadi penyebab melonjaknya harga komoditas tersebut. Komoditas lainnya yang juga meroket adalah cabai rawit yang harganya sempat menyentuh Rp100.000 per kg pada Juni-Juli silam.

Berlanjut pada periode September hingga akhir tahun, tekanan inflasi datang dari kelompok barang atau jasa yang harganya diatur pemerintah (administered price). Inflasi kelompok tersebut melonjak setelah pemerintah mengerek harga BBM subsidi di awal September.

BPS mencatat pada September 2022 terjadi inflasi sebesar 1,17% secara bulanan alias month on month (MoM). Level tersebut adalah yang tertinggi sejak Desember 2014.

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, penyumbang inflasi bulan September adalah kenaikan harga BBM hingga tarif kendaraan online.

"Jika dilihat yang menyumbang inflasi pada bulan September ini di antaranya berasal dari kenaikan bensin, tarif angkutan dalam kota, beras, solar, tarif angkutan antar kota, tarif kendaraan online dan juga bahan bakar rumah tangga," ujar Margo dalam jumpa pers, Senin (3/10).

Lonjakan inflasi membuat Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga secara agresif. Setelah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Agustus, bank sentral bertindak lebih agresif dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 bps, masing-masing 50 bps pada September, Oktober, dan November.

Dengan demikian, hingga November 2022, suku bunga acuan BI sudah dinaikkan sebesar 175 bps menjadi 5,25%. Kenaikan tersebut adalah yang paling agresif sejak 2005.

Kenaikan suku bunga berlanjut di Desember. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 21-22 Desember, BI memutuskan kembali menaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,5%.

“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan BI 7 days reverse repo rate 25 bps jadi 5,50%,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/12).



Langkah agresif bank sentral menaikkan suku bunga selain untuk menekan ekspektasi inflasi juga menjaga nilai tukar rupiah. Untuk diketahui, mata uang Garuda ambles sejak September dan menembus level psikologis Rp15.000 per dolar AS.

Gubernur BI mencatat, nilai tukar rupiah hingga 21 Desember 2022 terdepresiasi 8,56% year-to-date (ytd) dibandingkan level akhir 2021.

Meski begitu, Perry menilai depresiasi rupiah tersebut relatif lebih baik dibanding mata uang sejumlah negara di kawasan seperti China 8,96% (ytd) dan India 10,24% (ytd).

Ambruknya rupiah terutama disebabkan oleh derasnya aliran modal asing yang ke luar (capital outflow). Investor asing memilih meninggalkan pasar keuangan domestik dan membeli aset aman seperti dolar AS usai The Fed menaikkan suku bunga secara agresif.

Ekonom Senior BCA Barra Kukuh Mamia dalam laporan “Trade: It’s beginning to look a lot like global recession” pada 15 Desember lalu mengatakan, surplus perdagangan pada November 2022 yang cukup besar yaitu USD5,16 miliar tetap menjadi salah satu penopang bagi nilai tukar rupiah.

“Meskipun prospeknya lebih suram, harga komoditas akan tetap menguntungkan Indonesia, dan memungkinkan BI untuk lebih moderat dalam menaikkan suku bunga atau bahkan menghentikan kenaikan pada awal 2023,” simpulnya.

Kenaikan suku bunga BI secara agresif dan melemahnya rupiah menjadi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia di akhir tahun. Naiknya suku bunga dikhawatirkan bisa meredam permintaan kredit dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Sementara itu, pelemahan rupiah bisa membebani perusahaan dalam negeri mengingat sebagian besar barang modal mereka masih didatangkan dari luar negeri.

Belum lagi perlambatan ekonomi China yang bisa menekan ekspor dan laju investasi RI. Sebagaimana diketahui, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan lima besar investor di Tanah Air.

Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1674 seconds (0.1#10.140)