Produksi Garam Industri Butuh Lahan Baru
A
A
A
CIREBON - Pemerintah perlu mengupayakan pembukaan lahan baru (ekstensifikasi) tambak garam untuk memenuhi kebutuhan industri yang selama ini impor.
Setidaknya diperlukan lahan baru seluas 13 ribu hektare untuk memproduksi garam bagi industri yang kebutuhannya sekitar 2,2 juta ton per tahun. Pembukaan lahan baru dipastikan akan dapat menutupi seluruh kebutuhan garam industri secara bertahap, dengan estimasi dalam 1.000 ha tambak garam mampu diproduksi sekitar 200 ribu ton/tahun.
Direktur Industri Kimia Dasar Ditjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Muhamad Khayam mengatakan, kebutuhan garam konsumsi 1,7 juta ton telah terpenuhi produksi dalam negeri (swasembada). Sementara, garam untuk kebutuhan industri masih harus mengandalkan impor.
"Sebenarnya sudah banyak investor yang berminat di sektor produksi garam industri untuk memenuhi kebutuhan garam industri sebanyak 2,2 juta/ton," ungkapnya seusai penandatanganan MoU petani garam lokal dan Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) soal penyerapan garam di Kabupaten Cirebon, kemarin.
Namun, rata-rata dari mereka masih kebingungan menentukan lokasi baru. Sementara mereka yang telah mulai investasi, mengalami kesulitan dalam pengadaan lahan untuk tambak garam.
Dia mencontohkan, ada investor yang telah mulai menggarap tambak garam untuk industri di Nusa Tenggara Timur (NTT) seluas sekitar 1.000 ha. Tapi masih menghadapi kendala terkait legalitas tanah.
Menurutnya, pemilihan lokasi pembukaan tambak garam baru di NTT tepat mengingat wilayah itu memiliki masa kemarau sekitar 8,5 bulan atau mendekati lamanya kemarau di Australia yang 11 bulan.
Dia meyakini pembukaan tambak garam baru 13 ribu ha dapat menutup kebutuhan impor garam industri yang kriteria dan kualitasnya lebih tinggi dari garam konsumsi.
Kinerja industri yang membutuhkan bahan baku garam perlu didorong. Hal ini penting karena industri bersangkutan memiliki orientasi ekspor untuk produk yang dihasilkannya, seperti industri makanan, tekstil, ataupun kertas.
"Kalau dijumlah, nilainya mencapai US$20 miliar atau sekitar 10% dari total nilai ekspor nasional," ujarnya.
Ketua Bidang Pengembangan Teknologi BPP AIPGI Arthur Tanudjadja menyatakan, untuk mendongkrak produksi garam nasional tak cukup mengandalkan lahan yang ada. Produksi garam tak bisa lepas dari kondisi cuaca dan penggunaan teknologi budidaya.
"Sulit menggandakan produksi garam jika luasan lahan tetap. Karenanya, perlu ada pembukaan lahan baru dengan pola inti-plasma," tutur dia.
Pemerintah, lanjut Arthur, harus fokus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas garam jika ingin mengurangi ketergantungan impor garam untuk industri. Hal ini juga untuk mengimbangi sektor industri yang memerlukan garam berkualitas tinggi.
Dia mencontohkan, produk dari industri aneka pangan harus melewati pemeriksaan ketat agar bisa ekspor. Dengan begitu, garam sebagai bahan baku juga harus memenuhi standar kualitas.
Sementara, kalangan pengusaha pengguna garam yang tergabung dalam AIPGI terus menyisir stok garam yang masih ada pada petani jelang musim produksi 2015 yang diperkirakan mulai Juli.
Ketua AIPGI Tony F Tanduk menyebutkan, sejak dua bulan lalu pihaknya telah mulai menyerap garam lokal di Madura. "Sekarang giliran garam lokal yang ada di Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah," katanya.
Untuk penyerapan di Pantura Jabar, yakni Cirebon dan Indramayu, hanya sekitar 1.200 ton yang merupakan sisa dari produksi 2014. Pihaknya memprediksi, puncak produksi garam tahun ini terjadi Oktober 2015.
Setidaknya diperlukan lahan baru seluas 13 ribu hektare untuk memproduksi garam bagi industri yang kebutuhannya sekitar 2,2 juta ton per tahun. Pembukaan lahan baru dipastikan akan dapat menutupi seluruh kebutuhan garam industri secara bertahap, dengan estimasi dalam 1.000 ha tambak garam mampu diproduksi sekitar 200 ribu ton/tahun.
Direktur Industri Kimia Dasar Ditjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Muhamad Khayam mengatakan, kebutuhan garam konsumsi 1,7 juta ton telah terpenuhi produksi dalam negeri (swasembada). Sementara, garam untuk kebutuhan industri masih harus mengandalkan impor.
"Sebenarnya sudah banyak investor yang berminat di sektor produksi garam industri untuk memenuhi kebutuhan garam industri sebanyak 2,2 juta/ton," ungkapnya seusai penandatanganan MoU petani garam lokal dan Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) soal penyerapan garam di Kabupaten Cirebon, kemarin.
Namun, rata-rata dari mereka masih kebingungan menentukan lokasi baru. Sementara mereka yang telah mulai investasi, mengalami kesulitan dalam pengadaan lahan untuk tambak garam.
Dia mencontohkan, ada investor yang telah mulai menggarap tambak garam untuk industri di Nusa Tenggara Timur (NTT) seluas sekitar 1.000 ha. Tapi masih menghadapi kendala terkait legalitas tanah.
Menurutnya, pemilihan lokasi pembukaan tambak garam baru di NTT tepat mengingat wilayah itu memiliki masa kemarau sekitar 8,5 bulan atau mendekati lamanya kemarau di Australia yang 11 bulan.
Dia meyakini pembukaan tambak garam baru 13 ribu ha dapat menutup kebutuhan impor garam industri yang kriteria dan kualitasnya lebih tinggi dari garam konsumsi.
Kinerja industri yang membutuhkan bahan baku garam perlu didorong. Hal ini penting karena industri bersangkutan memiliki orientasi ekspor untuk produk yang dihasilkannya, seperti industri makanan, tekstil, ataupun kertas.
"Kalau dijumlah, nilainya mencapai US$20 miliar atau sekitar 10% dari total nilai ekspor nasional," ujarnya.
Ketua Bidang Pengembangan Teknologi BPP AIPGI Arthur Tanudjadja menyatakan, untuk mendongkrak produksi garam nasional tak cukup mengandalkan lahan yang ada. Produksi garam tak bisa lepas dari kondisi cuaca dan penggunaan teknologi budidaya.
"Sulit menggandakan produksi garam jika luasan lahan tetap. Karenanya, perlu ada pembukaan lahan baru dengan pola inti-plasma," tutur dia.
Pemerintah, lanjut Arthur, harus fokus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas garam jika ingin mengurangi ketergantungan impor garam untuk industri. Hal ini juga untuk mengimbangi sektor industri yang memerlukan garam berkualitas tinggi.
Dia mencontohkan, produk dari industri aneka pangan harus melewati pemeriksaan ketat agar bisa ekspor. Dengan begitu, garam sebagai bahan baku juga harus memenuhi standar kualitas.
Sementara, kalangan pengusaha pengguna garam yang tergabung dalam AIPGI terus menyisir stok garam yang masih ada pada petani jelang musim produksi 2015 yang diperkirakan mulai Juli.
Ketua AIPGI Tony F Tanduk menyebutkan, sejak dua bulan lalu pihaknya telah mulai menyerap garam lokal di Madura. "Sekarang giliran garam lokal yang ada di Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah," katanya.
Untuk penyerapan di Pantura Jabar, yakni Cirebon dan Indramayu, hanya sekitar 1.200 ton yang merupakan sisa dari produksi 2014. Pihaknya memprediksi, puncak produksi garam tahun ini terjadi Oktober 2015.
(izz)