Pakar UI: Garam Bermutu Dihasilkan Dari Panen di Atas Meja Garam
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru besar Teknik Kimia dari Universitas Indonesia (UI), Prof. Misri Gozan menyatakan, bahwa ada metode pengolahan garam di Indonesia yang dapat menghasilkan garam untuk kebutuhan industri . Garam yang dihasilkan dengan mutu cukup tinggi dapat dilakukan dengan membuat meja garam atau tumpukan garam (salt crystal table).
“Panen garam setelah lahan garam terbentuk tumpukan garam yang cukup tinggi, (penampakan) putih bersih,” ujarnya kepada media.
Dia menambahkan, pengelolaan garam yang baik dimulai dari perluasan lahan. Kemudian dengan penyediaan air baku (air tua) yang bersih untuk menghasilkan garam dengan kadar NaCl lebih dari 96%. “Dan dengan penggunaan lahan yang khusus untuk industri serta pemanenan diperlukan waktu yang cukup,” tambahnya.
“Pilihan lokasi garam juga penting. Di Indonesia dengan kelembaban udara pada 50%-90%. Makin tinggi angka kelembaban udara maka makin sulit melakukan penguapan air laut. Daerah terbaik untuk tambak garam saat ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan humiditas sangat rendah dan waktu musim kering cukup panjang,” terangnya.
Dia menjelaskan, mayoritas pengolahan lahan garam pada saat ini dilakukan secara tradisional dengan lahan yang sempit. Lahan tersebut digunakan bergantian dengan tambak udang/bandeng hingga sawah padi.
Pada saat panen, para petani garam tidak sabar menunggu menuai garam yang masih kotor. Hal ini karena petani garam terdesak untuk pemenuhan uang untuk kebutuhan rumah tangga, karena umumnya petani garam menyewa lahan (hutang) dan sudah terikat ijon dengan pihak-pihak tertentu.
“Di sisi lain, sering pengijon tidak menghargai pula perbedaan garam baik denagn garam mutu rendah dengan kadar NaCl kurang dari 90%,” terangnya.
Guru besar UI menerangkang penggunaan geomembran oleh petani garam. Geomembran untuk meningkatkan suhu lahan sehingga mempercepat penguapan. Teknologi ini memerlukan modal yang besar bagi petani untuk membeli lembaran plastik khusus. Sehingga pentai garam enggan dengan metode ini karena tidak punya modal.
“Biasanya (geomembran) hanya bisa dipakai sekali musim karena robek dan tidak adanya tempat simpan geomembran karena lahan gharus digunakan untuk keperluan lain,” tutupnya.
Sementara itu CEO PT Garam, Achmad Ardianto mengatakan, petani garam maupun PT Garam belum dapat menghasilkan garam secara konsisten untuk kebutuhan industri selain industri aneka pangan. Industri yang dimaksud adalah chlor alkali plant (CAP).
“Cara menghasilkan garam di lokal melalui pertanian melalui cara manual. Sedangkan garam impor dihasilkan dengan proses mekanisasi. Yakni industrialisasi penghasil garam, proses dengan mekanik, masa panen lebih panjang, sehingga mutu lebih konsisten,” ujarnya.
“Panen garam setelah lahan garam terbentuk tumpukan garam yang cukup tinggi, (penampakan) putih bersih,” ujarnya kepada media.
Dia menambahkan, pengelolaan garam yang baik dimulai dari perluasan lahan. Kemudian dengan penyediaan air baku (air tua) yang bersih untuk menghasilkan garam dengan kadar NaCl lebih dari 96%. “Dan dengan penggunaan lahan yang khusus untuk industri serta pemanenan diperlukan waktu yang cukup,” tambahnya.
“Pilihan lokasi garam juga penting. Di Indonesia dengan kelembaban udara pada 50%-90%. Makin tinggi angka kelembaban udara maka makin sulit melakukan penguapan air laut. Daerah terbaik untuk tambak garam saat ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan humiditas sangat rendah dan waktu musim kering cukup panjang,” terangnya.
Dia menjelaskan, mayoritas pengolahan lahan garam pada saat ini dilakukan secara tradisional dengan lahan yang sempit. Lahan tersebut digunakan bergantian dengan tambak udang/bandeng hingga sawah padi.
Pada saat panen, para petani garam tidak sabar menunggu menuai garam yang masih kotor. Hal ini karena petani garam terdesak untuk pemenuhan uang untuk kebutuhan rumah tangga, karena umumnya petani garam menyewa lahan (hutang) dan sudah terikat ijon dengan pihak-pihak tertentu.
“Di sisi lain, sering pengijon tidak menghargai pula perbedaan garam baik denagn garam mutu rendah dengan kadar NaCl kurang dari 90%,” terangnya.
Guru besar UI menerangkang penggunaan geomembran oleh petani garam. Geomembran untuk meningkatkan suhu lahan sehingga mempercepat penguapan. Teknologi ini memerlukan modal yang besar bagi petani untuk membeli lembaran plastik khusus. Sehingga pentai garam enggan dengan metode ini karena tidak punya modal.
“Biasanya (geomembran) hanya bisa dipakai sekali musim karena robek dan tidak adanya tempat simpan geomembran karena lahan gharus digunakan untuk keperluan lain,” tutupnya.
Sementara itu CEO PT Garam, Achmad Ardianto mengatakan, petani garam maupun PT Garam belum dapat menghasilkan garam secara konsisten untuk kebutuhan industri selain industri aneka pangan. Industri yang dimaksud adalah chlor alkali plant (CAP).
“Cara menghasilkan garam di lokal melalui pertanian melalui cara manual. Sedangkan garam impor dihasilkan dengan proses mekanisasi. Yakni industrialisasi penghasil garam, proses dengan mekanik, masa panen lebih panjang, sehingga mutu lebih konsisten,” ujarnya.
(akr)