Chevron Sepakat Skema Bagi Hasil Migas Diubah
A
A
A
PEKANBARU - PT Chevron Pasific Indonesia menyetujui rencana pemerintah mengganti skema kontrak dari pola cost recovery (production sharing contract/PSC) dengan gross split pada minyak dan gas bumi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan beralasan, penggantian skema kontrak bagi hasil akan lebih meningkatkan efisiensi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Pasalnya melalui skema gross split tersebut Chevron akan lebih memiliki keleluasaan dalam menentukan teknologi yang dianggap paling efisien.
"Menurut Pak Albert, beliau setuju dengan gross split supaya kerjanya lebih fokus kepada peningkatkan produksi dan fokus meningkatkan efisiensi," ujar dia, saat berkunjung ke fasilitas Chevron di Lapangan Minas, Siak, Riau, Sabtu malam (17/12/2016).
Dia mencontohkan, wilayah kerja Rokan yang saat ini dikelola oleh Chevron mulai dari kesepakatan kontrak bagi hasil di awal, negara mendapatkan bagian 90% sedangkan Chevron Pasific Indonesia mendapatkan bagi hasil 10%.
Namun, menurut Jonan, bagi hasil tersebut tidak sesuai dengan harapan. Pasalnya dalam kurun waktu setahun negara harus merogoh kocek cost recovery sebesar USD2 miliar sedangkan pendapatan negara yang diterima hanya USD350 juta.
"Sebab itu perlu adanya perubahan kontrak biar tidak banyak debat. Intinya begini, bapak Presiden itu arahnya satu, harus efisiensi," tuturnya.
Dia menambahkan, saat ini Kementerian ESDM sedang menyelesaikan aturan mengenai skema baru kerjasama minyak dan gas bumi tersebut. Targetnya akan diterapkan tahun depan atau bisa jadi akan dilakukan justru lebih cepat.
"Untuk kontrak yang baru ini mudah-mudahan bisa secepatnya," tandas Jonan.
Menurutnya, skema gross split tersebut hanya akan berlaku untuk kontrak-kontrak wilayah kerja migas yang baru. Sedangkan untuk kontrak yang saat ini masih berjalan masih tetap menggunakan PSC sampai masa kontraknya habis.
"Pengertiannya adalah kontrak itu berlaku untuk yang baru maupun perpanjangan kontrak. Untuk yang sudah berjalan tidak berlaku surut," katanya.
Jonan menjelaskan, tidak berlakunya skema baru di dalam kontrak yang sudah berjalan demi menghormati kesucian kontrak. Disamping itu, lanjutnya, Skema gross split tetap membuka peluang peningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Bahkan pihaknya yakin industri lokal dapat meningkatkan kemampuannya untuk tetap bersaing.
"Kalau kontrak seperti itu pasti kontraktornya akan lebih efisien karena daripada impor lebih baik belanja di dalam negeri sehingga TKDN-nya meningkat," katanya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga akan memberikan insentif berdasarkan komitmen KKKS dalam menggunakan komponen lokal. Pemakaian komponen lokal akan menjadi patokan besaran insentif dalam bagi hasil.
"Jadi gini, misalnya 10% TKDN itu akan diberikan insentif dengan menambah bagi hasil 1% atau 2%," katanya.
Dia juga menegaskan bahwa SKK Migas akan tetap diperlukan untuk mengawasi penggunaan TKDN dan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang akan digunakan kontraktor dalam program kerja tahunannya. SKK Migas juga akan mengawasi aspek kesehatan, keselamatan kerja, keamanan dan lindungan lingkungan.
Adapun perbedaannya antara gross split dengan PSC nantinya kontraktor tidak perlu mengajukan pengembalian investasi yang perlu diganti oleh negara atau cost recovery karena seluruh biaya sudah ditanggung kontraktor.
"Tidak ada pengembalian investasi. Pengawasan diperlukan itu soal peningkatan produksi minyak nasional, eksplorasi baru, dan keselamatan. Jadi tidak fokus mengurusi adminitrasi biaya," katanya.
Tidak hanya itu, kata Jonan, SKK Migas juga masih diperlukan untuk mengawasi kontrak-kontrak lama atau PSC yang saat ini masih berjalan. Pada kesempatan yang sama, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan bahwa kontrak PSC dari keseluruhan KKKS masih berjalan hingga 25 tahun. Kontrak dengan pola cost recovery tersebut terhitung sejak 2015 masih terdapat 50 KKKS.
"Masih 25 tahun lagi keberlangsungan kontrak PSC. Terhitung sejak 2015 ada 50 wilayah kerja dengan bentuk PSC," jelasnya.
Dia menegaskan bahwa SKK Migas mendukung perubahan skema teranyar yang akan berlakukan oleh pemerintah. Bahkan pihaknya yakin skema gross split akan lebih efisien.
Sementara itu, Presiden Direktur Chevron Pasific Indonesia Albert Simanjuntak mengatakan bahwa pihaknya siap menerapkan skema gross split pada kontrak-kontrak baru. Hal itu sejalan dengan rencana pemerintah menerbitkan peraturan mengenai skema kontrak gross split supaya lebih efisien.
Chevron Pasific Indonesia sebagai penyumbang terbesar produksi minyak nasional itupun berkomitmen akan mentaati peraturan Pemerintah Indonesia.
"Saya setuju dengan efisiensi, soal apakah nanti gross split, PSC ataupun royalti itu terserah Pak Menteri," pungkasnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan beralasan, penggantian skema kontrak bagi hasil akan lebih meningkatkan efisiensi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Pasalnya melalui skema gross split tersebut Chevron akan lebih memiliki keleluasaan dalam menentukan teknologi yang dianggap paling efisien.
"Menurut Pak Albert, beliau setuju dengan gross split supaya kerjanya lebih fokus kepada peningkatkan produksi dan fokus meningkatkan efisiensi," ujar dia, saat berkunjung ke fasilitas Chevron di Lapangan Minas, Siak, Riau, Sabtu malam (17/12/2016).
Dia mencontohkan, wilayah kerja Rokan yang saat ini dikelola oleh Chevron mulai dari kesepakatan kontrak bagi hasil di awal, negara mendapatkan bagian 90% sedangkan Chevron Pasific Indonesia mendapatkan bagi hasil 10%.
Namun, menurut Jonan, bagi hasil tersebut tidak sesuai dengan harapan. Pasalnya dalam kurun waktu setahun negara harus merogoh kocek cost recovery sebesar USD2 miliar sedangkan pendapatan negara yang diterima hanya USD350 juta.
"Sebab itu perlu adanya perubahan kontrak biar tidak banyak debat. Intinya begini, bapak Presiden itu arahnya satu, harus efisiensi," tuturnya.
Dia menambahkan, saat ini Kementerian ESDM sedang menyelesaikan aturan mengenai skema baru kerjasama minyak dan gas bumi tersebut. Targetnya akan diterapkan tahun depan atau bisa jadi akan dilakukan justru lebih cepat.
"Untuk kontrak yang baru ini mudah-mudahan bisa secepatnya," tandas Jonan.
Menurutnya, skema gross split tersebut hanya akan berlaku untuk kontrak-kontrak wilayah kerja migas yang baru. Sedangkan untuk kontrak yang saat ini masih berjalan masih tetap menggunakan PSC sampai masa kontraknya habis.
"Pengertiannya adalah kontrak itu berlaku untuk yang baru maupun perpanjangan kontrak. Untuk yang sudah berjalan tidak berlaku surut," katanya.
Jonan menjelaskan, tidak berlakunya skema baru di dalam kontrak yang sudah berjalan demi menghormati kesucian kontrak. Disamping itu, lanjutnya, Skema gross split tetap membuka peluang peningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Bahkan pihaknya yakin industri lokal dapat meningkatkan kemampuannya untuk tetap bersaing.
"Kalau kontrak seperti itu pasti kontraktornya akan lebih efisien karena daripada impor lebih baik belanja di dalam negeri sehingga TKDN-nya meningkat," katanya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga akan memberikan insentif berdasarkan komitmen KKKS dalam menggunakan komponen lokal. Pemakaian komponen lokal akan menjadi patokan besaran insentif dalam bagi hasil.
"Jadi gini, misalnya 10% TKDN itu akan diberikan insentif dengan menambah bagi hasil 1% atau 2%," katanya.
Dia juga menegaskan bahwa SKK Migas akan tetap diperlukan untuk mengawasi penggunaan TKDN dan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang akan digunakan kontraktor dalam program kerja tahunannya. SKK Migas juga akan mengawasi aspek kesehatan, keselamatan kerja, keamanan dan lindungan lingkungan.
Adapun perbedaannya antara gross split dengan PSC nantinya kontraktor tidak perlu mengajukan pengembalian investasi yang perlu diganti oleh negara atau cost recovery karena seluruh biaya sudah ditanggung kontraktor.
"Tidak ada pengembalian investasi. Pengawasan diperlukan itu soal peningkatan produksi minyak nasional, eksplorasi baru, dan keselamatan. Jadi tidak fokus mengurusi adminitrasi biaya," katanya.
Tidak hanya itu, kata Jonan, SKK Migas juga masih diperlukan untuk mengawasi kontrak-kontrak lama atau PSC yang saat ini masih berjalan. Pada kesempatan yang sama, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan bahwa kontrak PSC dari keseluruhan KKKS masih berjalan hingga 25 tahun. Kontrak dengan pola cost recovery tersebut terhitung sejak 2015 masih terdapat 50 KKKS.
"Masih 25 tahun lagi keberlangsungan kontrak PSC. Terhitung sejak 2015 ada 50 wilayah kerja dengan bentuk PSC," jelasnya.
Dia menegaskan bahwa SKK Migas mendukung perubahan skema teranyar yang akan berlakukan oleh pemerintah. Bahkan pihaknya yakin skema gross split akan lebih efisien.
Sementara itu, Presiden Direktur Chevron Pasific Indonesia Albert Simanjuntak mengatakan bahwa pihaknya siap menerapkan skema gross split pada kontrak-kontrak baru. Hal itu sejalan dengan rencana pemerintah menerbitkan peraturan mengenai skema kontrak gross split supaya lebih efisien.
Chevron Pasific Indonesia sebagai penyumbang terbesar produksi minyak nasional itupun berkomitmen akan mentaati peraturan Pemerintah Indonesia.
"Saya setuju dengan efisiensi, soal apakah nanti gross split, PSC ataupun royalti itu terserah Pak Menteri," pungkasnya.
(dol)