Misbakhun Waswas Ijon Cukai Berimbas ke Kredibilitas APBN
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun mengingatkan jajaran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berkomitmen penuh pada upaya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyusun APBN yang kredibel, jujur dan tanpa kamuflase.
Dia mengingatkan hal itu lantaran mendengar informasi tentang praktik ijon cukai demi menutup kekurangan penerimaan negara. Ijon cukai berarti pemerintah menarik pembayaran cukai di depan.
Berbicara pada rapat kerja Komisi XI DPR dengan Dirjen Bea Cukai Kemenkeu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/1), Misbakhun mengaku mendapat keluhan dari sejumlah pengusaha soal praktik ijon cukai. Menurutnya, para pengusaha pun tak kuasa menolak.
"Mereka bilang, masa kami menolak. Toh yang meminta kan pemerintah kita," katanya di Jakarta, Senin (16/1/2017).
Dia lantas mencocokkannya dengan data statistik tentang penerimaan negara dari cukai. Selama Januari hingga Februari 2016, pemasukan cukai cenderung stagnan di angka Rp5 triliun.
Tapi mulai Maret 2016, ada lonjakan Rp18 triliun, namun terhenti di angka Rp19 triliun pada Juni 2016. Sedangkan pemasukan paling tinggi dari cukai sepanjang 2016 pada Desember mencapai kisaran Rp30 triliiun-Rp36 triliun.
"Kalau terjadi lonjakan pada Desember, lalu Januari dan Februari berikutnya turun, ini kan sangat aneh. Sebab idealnya, sepanjang bulan itu kan seharusnya flat," kata Misbakhun.
Politikus Golkar itu mengakui, lonjakan penerimaan cukai memang bisa menutupi kekurangan pemasukan negara dari pajak. Namun, sebagaimana keinginan Menkeu, maka APBN juga harus kredibel dan tanpa kamuflase.
"Saya apresiasi penerimaan cukai tahun ini di tengah penerimaan pajak yang turun. Tapi kan Menkeu bilang ingin membangun kebijakan yang trusted. Jadi, tak boleh ada kamuflase, kita harus berterus terang," tegasnya.
Secara khusus dia mengingatkan agar jangan sampai kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) itu justru membunuh industri tembakau. Sebab, pemerintah ambigu karena di satu sisi memburu pemasukan yang tinggi dari cukai rokok, tapi di sisi lain juga berupaya mengendalikan industri tembakau.
"Ini saya membela konstituen saya. Mereka petani dan buruh pabrik yang hidupnya tergantung dengan itu. Mereka juga punya hak hidup," kata legislator asal daerah pemilihan Jawa Timur II yang meliputi Pasuruan dan Probolinggo itu.
Dia lantas mengutip hasil penelitian dari sebuah lembaga riset kondang dari mancanegara pada 2013 yang menunjukkan industri rokok Indonesia paling kebal terhadap krisis.
Menurutnya, jika pemerintah masih memprioritaskan penerimaan negara dari sektor cukai industri tembakau, seharusnya membatasi diri pembicaraan soal pembatasan konsumsi.
"Aneh ketika Kemenkeu bilang batasi konsumsi. Selalu dikatakan harga rokok di Indonesia sangat rendah. Tapi tak pernah dibandingkan pendapatan perkapita rakyat. Seakan pendapatan kita sama dengan Singapura dan Australia," tuturnya.
Karena itu, Misbakhun justru menyarankan DJBC memperluas objek cukai. Sebab, ada beberapa komoditas yang berpotensi dikenai cukai di luar rokok, etil dan alkohol etil.
"Saya setuju kalau Ditjen menambah banyak cukai. Supaya Anda tak capek hanya mengurusi rokok dan etil alkohol saja," katanya.
Dia membandingkan Indonesia yang hanya menjadikan tiga komoditas sebagai objek cukai dengan Thailand yang punya 16-19 barang obek cukai. "Bila Anda minta, saya siap galang teman-teman agar disetujui," jelasnya.
Dia mengingatkan hal itu lantaran mendengar informasi tentang praktik ijon cukai demi menutup kekurangan penerimaan negara. Ijon cukai berarti pemerintah menarik pembayaran cukai di depan.
Berbicara pada rapat kerja Komisi XI DPR dengan Dirjen Bea Cukai Kemenkeu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/1), Misbakhun mengaku mendapat keluhan dari sejumlah pengusaha soal praktik ijon cukai. Menurutnya, para pengusaha pun tak kuasa menolak.
"Mereka bilang, masa kami menolak. Toh yang meminta kan pemerintah kita," katanya di Jakarta, Senin (16/1/2017).
Dia lantas mencocokkannya dengan data statistik tentang penerimaan negara dari cukai. Selama Januari hingga Februari 2016, pemasukan cukai cenderung stagnan di angka Rp5 triliun.
Tapi mulai Maret 2016, ada lonjakan Rp18 triliun, namun terhenti di angka Rp19 triliun pada Juni 2016. Sedangkan pemasukan paling tinggi dari cukai sepanjang 2016 pada Desember mencapai kisaran Rp30 triliiun-Rp36 triliun.
"Kalau terjadi lonjakan pada Desember, lalu Januari dan Februari berikutnya turun, ini kan sangat aneh. Sebab idealnya, sepanjang bulan itu kan seharusnya flat," kata Misbakhun.
Politikus Golkar itu mengakui, lonjakan penerimaan cukai memang bisa menutupi kekurangan pemasukan negara dari pajak. Namun, sebagaimana keinginan Menkeu, maka APBN juga harus kredibel dan tanpa kamuflase.
"Saya apresiasi penerimaan cukai tahun ini di tengah penerimaan pajak yang turun. Tapi kan Menkeu bilang ingin membangun kebijakan yang trusted. Jadi, tak boleh ada kamuflase, kita harus berterus terang," tegasnya.
Secara khusus dia mengingatkan agar jangan sampai kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) itu justru membunuh industri tembakau. Sebab, pemerintah ambigu karena di satu sisi memburu pemasukan yang tinggi dari cukai rokok, tapi di sisi lain juga berupaya mengendalikan industri tembakau.
"Ini saya membela konstituen saya. Mereka petani dan buruh pabrik yang hidupnya tergantung dengan itu. Mereka juga punya hak hidup," kata legislator asal daerah pemilihan Jawa Timur II yang meliputi Pasuruan dan Probolinggo itu.
Dia lantas mengutip hasil penelitian dari sebuah lembaga riset kondang dari mancanegara pada 2013 yang menunjukkan industri rokok Indonesia paling kebal terhadap krisis.
Menurutnya, jika pemerintah masih memprioritaskan penerimaan negara dari sektor cukai industri tembakau, seharusnya membatasi diri pembicaraan soal pembatasan konsumsi.
"Aneh ketika Kemenkeu bilang batasi konsumsi. Selalu dikatakan harga rokok di Indonesia sangat rendah. Tapi tak pernah dibandingkan pendapatan perkapita rakyat. Seakan pendapatan kita sama dengan Singapura dan Australia," tuturnya.
Karena itu, Misbakhun justru menyarankan DJBC memperluas objek cukai. Sebab, ada beberapa komoditas yang berpotensi dikenai cukai di luar rokok, etil dan alkohol etil.
"Saya setuju kalau Ditjen menambah banyak cukai. Supaya Anda tak capek hanya mengurusi rokok dan etil alkohol saja," katanya.
Dia membandingkan Indonesia yang hanya menjadikan tiga komoditas sebagai objek cukai dengan Thailand yang punya 16-19 barang obek cukai. "Bila Anda minta, saya siap galang teman-teman agar disetujui," jelasnya.
(izz)