Hipmi Ungkap Gejala Tak Sehat di Dunia Usaha Indonesia

Sabtu, 25 Maret 2017 - 22:35 WIB
Hipmi Ungkap Gejala Tak Sehat di Dunia Usaha Indonesia
Hipmi Ungkap Gejala Tak Sehat di Dunia Usaha Indonesia
A A A
JAKARTA - Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia. mengatakan, gejala tidak sehat dari dunia usaha di Indonesia dapat dilihat dari sulitnya usaha level menengah masuk ke jajaran usaha berukuran besar.

“Dari puluhan juta usaha kecil yang ada, rata-rata usaha kecil itu mentoknya nanti di menengah saja. Seperti ada kekuatan besar yang menghalangi dia naik ke atas,” ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (25/3/2017).

Sebab itu, kata dia, tidak heran bila sejak reformasi digulirkan, hampir tidak terlihat konglomerasi atau usaha besar baru yang muncul.

“Pemainnya ya itu-itu saja. Mana ada usaha-usaha besar baru yang listing di pasar saham. Sepi, mereka kuasai bisnis dari A sampai Z. Ada model bisnis baru yang muncul, ya dia lagi. Karena mereka menguasai regulasi, modal, dan tidak ada yang mengawasi,” kata Bahlil.

Di satu sisi, Bahlil menjelaskan, usaha-usaha besar tersebut terus menggurita dan menciptakan ekosistem dunia usaha yang tidak sehat dan menciptakan harga di pasar yang tidak bersaing bagi konsumen. “Di tingkat produksi mereka dominasi, begitu juga distribusi, sampai pasar menciptakan harga kurang sehat,” tuturnya.

Bahlil mengatakan, tantangan perekonomian terbesar Indonesia saat ini adanya disparitas yang tingggi hampir di semua tingkatan. Selain disparitas dalam dunia usaha, disparitas juga secara sosial antara kaya dan miskin. Disparitas pembangunan juga terjadi antara kawasan Timur dan Barat. Kemudian disparitas antara Jawa dan luar Pulau Jawa.

“Pemerintah Pak Jokowi-JK sudah menyadari hal ini dan Hipmi siap membantu pemerintah. Disparitas sebuah keniscayaan hidup. Tapi tidak baik kalau terlalu tinggi,” ujar Bahlil.

Hipmi menilai sudah saatnya KPPU dikuatkan perannya dalam penyelenggaraan praktik usaha yang sehat di Tanah Air. Bahlil mengatakan praktik konglomerasi di Tanah Air juga malah memperkuat dugaan monopoli yang kian massif.

Hal ini disebabkan usaha-usaha besar menguasai praktik usaha dari hulu sampai hilir. Hal ini sangat berbeda dengan industri dan usaha besar di Jepang dan negara-negara maju. Industri besar di sana selalu ditopang oleh UMKM-UMKM yang ikut memasok dan menjadi mata rantai usaha di negera-negara itu.

“Tidak usah jauh-jauh, lihat saja perusahaan-perusahaan Jepang di Cikarang sana. Di sekelilingnya langsung tumbuh UKM-UKM bonafid, pemiliknya beda-beda. Mereka kompak menjadi pemasok. Kalau di Indonesia, konglomerasi dan industri dikuasai dari A sampai Z,” kata Bahlil.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8433 seconds (0.1#10.140)