Regulasi Tak Konsisten Ganggu Iklim Investasi di Sektor Pertambangan
A
A
A
MAKASSAR - Mencermati proses negosiasi PT Freeport Indonesia dengan pemerintah yang sedang berlangsung, dua orang pakar memberikan tanggapan tentang potensi mengganggu iklim investasi sektor pertambangan. Seperti diketahui saat ini perusahaan raksasa tambang asal Amerika Serikat itu masih enggan mengubah kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Pakar hukum pertambangan dari Universitas Hasanuddin, Prof. Abrar Saleng mengatakan, PP No.1/2017 dan Peraturan Menteri ESDM No 5 dan 6 tahun 2017 menimbulkan persoalan baru dalam investasi pertambangan.
Sehingga menurutnya, untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas investasi, sepatutnya persoalan ini diselesaikan dengan renegosiasi kontrak karya antar pemerintah dengan perusahaan pemegang kontrak karya sebagaimana amanah Pasal 169 UU Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2009.
Prof. Abrar Saleng yang merupakan Ketua Dewan Profesor Universitas Hasanuddin ini lantas mengemukakan bahwa, jika mengacu pada kasus Freeport, hal ini menunjukkan pemerintah belum siap dan tidak konsisten menetapkan kebijakan pertambangan. Padahal investasi dan industri pertambangan membutuhkan konsistensi, kepastian hukum dan perlindungan hukum dari pemerintah.
“Ketentuan beberapa pasal dalam PP dan Permen ESDM itu bertentangan dan melampaui norma dalam UU Minerba, padahal sepatutnya harus melaksanakan norma UU yang lebih tinggi,” jelas Abrar, Jumat (31/3/2017).
Abrar yang juga merupakan Anggota Dewan Penasehat Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) ini, menyoroti bahwa sepatutnya, sebagaimana dalam UU Minerba Pasal 169 huruf a, pemegang Kontrak Karya (KK) harus dihormati sampai masa kontrak berakhir.
“Pemerintah sebaiknya mengakhiri KK dengan berdasar pada klausula dalam KK, namun untuk itu dibutuhkan konsistensi dan kedewasaan sebagai bangsa yang terhormat. Sebab, peraturan yang berubah-ubah, berimplikasi negatif pada dunia investasi," sambungnya.
Lebih lanjut dia menghimbau agar renegosiasi harus dituntaskan sebagai amanah Pasal 169 huruf b UU Minerba, agar KK jangan selalu menjadi kambing hitam setiap ada peraturan atau kebijakan baru pemerintah.
Sementara itu, dalam hal mencari titik penilaian pemerintah atas harga 51% saham Freeport, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menyampaikan bahwa pemerintah dan Freeport harus mencari titik temu yang dilandasi fairness.
Menurutnya benar bahwa seluruh kekayaan yang ada di perut bumi dikuasai oleh negara menurut konstitusi. Namun dalam kasus ini, yang dimaksudkan dengan penilaian bukan dalam konteks penguasaan, dalam arti cadangan itu milik Freeport, melainkan perhitungan nilai di masa mendatang yang akan didapatkan dari investasi dan kegiatan yang dilakukan saat ini (future value).
Tentu saja tidak bisa diabaikan fakta bahwa telah dilakukan investasi dan proses yang sangat panjang dan berbiaya tinggi untuk menjadikan potensi (cadangan mineral) menjadi realisasi (mineral yang bisa diolah dan dimanfaatkan).
“Jangan sampai cara berpikir seperti ini menjadi disinsentif dan preseden buruk bagi industri, karena bisa jadi ada persepsi dan kekhawatiran bagi pelaku industri (investor), bahwa di tengah jalan bisa dipaksa bernegosiasi dan melepaskan saham dengan penggantian sebesar yang dikeluarkan saja,” ujar Yustinus.
Pakar hukum pertambangan dari Universitas Hasanuddin, Prof. Abrar Saleng mengatakan, PP No.1/2017 dan Peraturan Menteri ESDM No 5 dan 6 tahun 2017 menimbulkan persoalan baru dalam investasi pertambangan.
Sehingga menurutnya, untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas investasi, sepatutnya persoalan ini diselesaikan dengan renegosiasi kontrak karya antar pemerintah dengan perusahaan pemegang kontrak karya sebagaimana amanah Pasal 169 UU Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2009.
Prof. Abrar Saleng yang merupakan Ketua Dewan Profesor Universitas Hasanuddin ini lantas mengemukakan bahwa, jika mengacu pada kasus Freeport, hal ini menunjukkan pemerintah belum siap dan tidak konsisten menetapkan kebijakan pertambangan. Padahal investasi dan industri pertambangan membutuhkan konsistensi, kepastian hukum dan perlindungan hukum dari pemerintah.
“Ketentuan beberapa pasal dalam PP dan Permen ESDM itu bertentangan dan melampaui norma dalam UU Minerba, padahal sepatutnya harus melaksanakan norma UU yang lebih tinggi,” jelas Abrar, Jumat (31/3/2017).
Abrar yang juga merupakan Anggota Dewan Penasehat Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) ini, menyoroti bahwa sepatutnya, sebagaimana dalam UU Minerba Pasal 169 huruf a, pemegang Kontrak Karya (KK) harus dihormati sampai masa kontrak berakhir.
“Pemerintah sebaiknya mengakhiri KK dengan berdasar pada klausula dalam KK, namun untuk itu dibutuhkan konsistensi dan kedewasaan sebagai bangsa yang terhormat. Sebab, peraturan yang berubah-ubah, berimplikasi negatif pada dunia investasi," sambungnya.
Lebih lanjut dia menghimbau agar renegosiasi harus dituntaskan sebagai amanah Pasal 169 huruf b UU Minerba, agar KK jangan selalu menjadi kambing hitam setiap ada peraturan atau kebijakan baru pemerintah.
Sementara itu, dalam hal mencari titik penilaian pemerintah atas harga 51% saham Freeport, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menyampaikan bahwa pemerintah dan Freeport harus mencari titik temu yang dilandasi fairness.
Menurutnya benar bahwa seluruh kekayaan yang ada di perut bumi dikuasai oleh negara menurut konstitusi. Namun dalam kasus ini, yang dimaksudkan dengan penilaian bukan dalam konteks penguasaan, dalam arti cadangan itu milik Freeport, melainkan perhitungan nilai di masa mendatang yang akan didapatkan dari investasi dan kegiatan yang dilakukan saat ini (future value).
Tentu saja tidak bisa diabaikan fakta bahwa telah dilakukan investasi dan proses yang sangat panjang dan berbiaya tinggi untuk menjadikan potensi (cadangan mineral) menjadi realisasi (mineral yang bisa diolah dan dimanfaatkan).
“Jangan sampai cara berpikir seperti ini menjadi disinsentif dan preseden buruk bagi industri, karena bisa jadi ada persepsi dan kekhawatiran bagi pelaku industri (investor), bahwa di tengah jalan bisa dipaksa bernegosiasi dan melepaskan saham dengan penggantian sebesar yang dikeluarkan saja,” ujar Yustinus.
(akr)