Fraksi Gerindra Menilai RAPBN 2018 Tidak Realistis
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mewakili pemerintah menggelar Rapat Paripurna dengan DPR, untuk mendengar pandangan fraksi soal asumsi makro dan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018 yang diajukan pemerintah pada 16 Agustus 2017 lalu.
Dalam rapat paripurna tersebut, Fraksi Partai Gerindra mengkritik RAPBN 2018 yang diajukan pemerintah. Menurut Gerindra, RAPBN 2018 tersebut masih jauh dari harapan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Anggota Fraksi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Dhirakanya mengungkapkan, APBN merupakan instrumen kebijakan penting untuk mencapai tujuan nasional melalui pelaksanaan program pemerintah. Pihaknya sependapat bahwa di tengah kondisi perekonomian global yang belum sepenuhnya normal, APBN harus dapat menjadi instrumen fiskal untuk mendukung upaya pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, serta penciptaan lapangan kerja.
"Karena itu, APBN ke depan perlu disusun secara realistis, sehingga mampu menopang kegiatan prioritas, kredibel, berdaya tahan, dan berkelanjutan baik jangka pendek maupun jangka menengah," katanya di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (24/8/2017).
Namun, Rahayu menilai RAPBN 2018 masih jauh dari harapan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat sesuai tujuan pembangunan nasional. Tak hanya itu, Rahayu juga berpandangan bahwa RAPBN terkesan tidak kokoh dan target penerimaan tidak realistis.
"Berkaca pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, target pendapatan terus direvisi berulang kali namun tidak juga bisa dicapai," imbuh dia.
Menurutnya, Fraksi Gerindra mengapresiasi keinginan pemerintah dalam menyusun RAPBN 2018 yang optimistis dengan penetapan pertumbuhan ekonomi 5,4%. Namun, target tersebut dianggap terlampau tinggi karena pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan hanya sebesar 5,1%.
Tak hanya itu, Fraksi Gerindra menilai rencana Pendapatan Negara sebesar Rp1.878,4 triliun akan sulit dicapai. Dia memperkirakan akan terjadi shortfall penerimaan perpajakan minimal sebesar Rp100 triliun.
"Pemerintah harus kerja keras untuk meningkatkan tax ratio, karena tax ratio tahun 2016 sebesar 10,36% atau terendah dalam 9 tahun sejak 2008. Dan tax ratio tahun 2017, kami perkirakan akan dibawah 10,36% atau yang terendah dalam 10 tahun terakir," tuturnya.
Masih menurut Rahayu, keseimbangan primer yang direncanakan defisit sebesar Rp78,4 triliun, diperkirakan dalam realisasi bisa mencapai defisit sebesar Rp150 triliun. Hal tersebut tentu akan membuat utang negara semakin besar.
"Sebaiknya pemerintah menghindari kebijakan defisit keseimbangan primer, sehingga dapat memperkecil penambahan utang baru," tandas dia.
Dalam rapat paripurna tersebut, Fraksi Partai Gerindra mengkritik RAPBN 2018 yang diajukan pemerintah. Menurut Gerindra, RAPBN 2018 tersebut masih jauh dari harapan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Anggota Fraksi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Dhirakanya mengungkapkan, APBN merupakan instrumen kebijakan penting untuk mencapai tujuan nasional melalui pelaksanaan program pemerintah. Pihaknya sependapat bahwa di tengah kondisi perekonomian global yang belum sepenuhnya normal, APBN harus dapat menjadi instrumen fiskal untuk mendukung upaya pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, serta penciptaan lapangan kerja.
"Karena itu, APBN ke depan perlu disusun secara realistis, sehingga mampu menopang kegiatan prioritas, kredibel, berdaya tahan, dan berkelanjutan baik jangka pendek maupun jangka menengah," katanya di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (24/8/2017).
Namun, Rahayu menilai RAPBN 2018 masih jauh dari harapan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat sesuai tujuan pembangunan nasional. Tak hanya itu, Rahayu juga berpandangan bahwa RAPBN terkesan tidak kokoh dan target penerimaan tidak realistis.
"Berkaca pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, target pendapatan terus direvisi berulang kali namun tidak juga bisa dicapai," imbuh dia.
Menurutnya, Fraksi Gerindra mengapresiasi keinginan pemerintah dalam menyusun RAPBN 2018 yang optimistis dengan penetapan pertumbuhan ekonomi 5,4%. Namun, target tersebut dianggap terlampau tinggi karena pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan hanya sebesar 5,1%.
Tak hanya itu, Fraksi Gerindra menilai rencana Pendapatan Negara sebesar Rp1.878,4 triliun akan sulit dicapai. Dia memperkirakan akan terjadi shortfall penerimaan perpajakan minimal sebesar Rp100 triliun.
"Pemerintah harus kerja keras untuk meningkatkan tax ratio, karena tax ratio tahun 2016 sebesar 10,36% atau terendah dalam 9 tahun sejak 2008. Dan tax ratio tahun 2017, kami perkirakan akan dibawah 10,36% atau yang terendah dalam 10 tahun terakir," tuturnya.
Masih menurut Rahayu, keseimbangan primer yang direncanakan defisit sebesar Rp78,4 triliun, diperkirakan dalam realisasi bisa mencapai defisit sebesar Rp150 triliun. Hal tersebut tentu akan membuat utang negara semakin besar.
"Sebaiknya pemerintah menghindari kebijakan defisit keseimbangan primer, sehingga dapat memperkecil penambahan utang baru," tandas dia.
(ven)