Sistem GPN Tingkatkan Efisiensi dalam Bisnis Transaksi

Rabu, 06 Desember 2017 - 05:15 WIB
Sistem GPN Tingkatkan...
Sistem GPN Tingkatkan Efisiensi dalam Bisnis Transaksi
A A A
JAKARTA - Sistem National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) masih membutuhkan evaluasi. Kalangan perbankan menilai akan ada efisiensi yang bisa mendukung bisnis transaksi kedepannya.

Direktur Bisnis Konsumer BNI, Anggoro Eko Cahyo mengatakan, dengan adanya NPG diharapkan akan mendorong efisiensi secara industri. Dampaknya akan terlihat dari sisi Merchant Discount Rate (MDR), karena selama ini merchant di Indonesia dibebani sekitar 2%-3% untuk penerimaan transaksi Kartu Bank Lain di EDC bank lain (off us).

"Sedangkan kedepannya, dengan NPG maka MDR transaksi ‘off us’ ditetapkan 1% dan ‘On Us’ sebesar 0,15%. Sehingga besarnya effisiensi yang langsung dirasakan adalah penurunan MDR tersebut," ujar Anggoro, Selasa (5/12/2017) di Jakarta.

Dia menjelaskan secara umum NPG diperuntukan untuk semua bank yang telah memenuhi aturan sesuai dengan PBI NPG No. 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. Secara umum yang dapat terlibat dalam GPN adalah beberapa pihak seperti Issuer, yaitu penerbit instrumen pembayaran yang telah memiliki ijin dari BI. Kemudian Acquirer sebagai penyedia alat pembayaran yang telah memiliki izin BI. Terakhir ialah Switcher yang telah mendapat izin dari BI.

Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, Rohan Hafas menilai NPG adalah suatu hal yang sangat baik bagi negara Indonesia karena dia melihat potensi devisa yang dihemat sangat besar. "Kami melihat hal ini dari sisi dukungan bersama dari seluruh perbankan nasional untuk mensukseskan NPG," ujar Rohan, Selasa (5/12).

Sementara Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara meragukan pernyataan Menteri BUMN yang menjanjikan GPN bisa menghemat devisa bernilai triliunan. "Harus ada kajian yang jelas untuk menjelaskan potensi triliunan devisa yang dihemat," ujar Bhima.

Bhima melanjutkan konsep National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) memunculkan perdebatan di tengah masyarakat. GPN sendiri merupakan integrasi sistem pembayaran yang terdiri dari berbagai instrumen dan kanal. Dalam kurun waktu empat bulan terakhir, Bank Indonesia telah mengeluarkan dua aturan yang berkaitan dengan GPN. Aturan pertama PBI No.19/8 Tahun 2017 tentang pengaturan ekosistem GPN terbit pada bulan Juni dan aturan kedua PADG No.19/10 Tahun 2017 soal tarif transaksi terbit pada bulan September.

"Dari kedua aturan tersebut semangat untuk meningkatkan efisiensi dalam sistem pembayaran di Indonesia memang muncul. Jika pelayanan jasa pembayaran semakin efisien, ujungnya masyarakat dengan sukarela akan pindah dari transaksi tunai ke elektronik," ujarnya.

Namun dinilai secara objektif aturan tersebut masih memiliki banyak kekurangan sehingga konsep GPN harus dievaluasi ulang. Pertama, Pemerintah melalui Kementerian BUMN mengklaim bahwa integrasi sistem melalui GPN mampu menyelamatkan Rp3 triliun devisa yang selama ini dianggap kabur ke luar negeri. Perhitungan versi Kementerian BUMN jelas terlalu overestimate alias berlebihan.

Faktanya, untuk tiap transaksi elektronik, pihak bank-bank penerbit kartu dan bank penerima pembayaran saling berbagai keseluruhan fee yang disebut Interchange Fee. Selain dari itu, pada kenyataannya bukan nilai uang yang dibawa perusahaan switching keluar negeri melainkan hanya sekadar pencatatan data, itu pun sifatnya sekedar otorisasi.

Kedua, di atas kertas aturan GPN memang terkesan pro terhadap kepentingan nasional. Namun faktanya GPN versi Bank Indonesia justru menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dan berujung pada oligopoli beberapa perusahaan switching lokal. Persaingan usaha yang tidak sehat tercermin dari aturan batasan modal pemain asing yang tidak konsisten.

Dalam PBI No.19/8 terdapat klausul bahwa perusahaan asing harus memiliki modal dalam negeri minimum 80%. Artinya, perusahaan asing yang telah beroperasi puluhan tahun dengan status PMA penuh, harus mendivestasi bisnisnya hingga hanya memilki 20% saham saja. Aturan 80:20 ini tidak berdasar dan rentan menabrak aturan lainnya di jasa keuangan lainnya seperti perbankan dan asuransi.

Pelajaran soal persaingan usaha yang tidak sehat berkedok GPN salah satunya berasal dari China, dimana GPN China Unionpay digugat oleh banyak Negara di WTO. Pada akhirnya, tahun 2012 China membuka kembali persaingan usahanya dan mengizinkan pemain swasta beroperasi.

Belajar dari kasus tersebut, masalah persaingan usaha yang tidak sehat justru menimbulkan distorsi pasar dan harga. Dalam teori consumer surplus, beban persaingan yang tidak sehat akan dikembalikan ke konsumen berupa pilihan yang terbatas dan adanya biaya siluman yang dibebankan dalam jangka panjang.

Masalah berikutnya adalah interkonektivitas dan interoperabilitas alias proses integrasi sistem antar penyedia jasa pembayaran. Biaya investasi yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan jasa switching transaksi pembayaran tidaklah murah. Bagi perusahaan switching dengan modal cekak tentu akan kesulitan dalam menjalankan GPN. Dalam jangka pendek biaya transaksi yang murah terkesan menguntungkan konsumen, namun pertanyaannya dengan pemasukan yang kecil berapa lama perusahaan switching sanggup bertahan?

Belum lagi ada perubahan konsep, perusahaan switching yang terintegrasi bukan sekedar jasa ATM melainkan transaksi pembayaran point-of-sale dan online. Peningkatan kapabilitas dari ATM ke point-of-sale dan online ini butuh investasi besar. Belum jelas dari mana perusahaan switching lokal akan memperoleh suntikan modal untuk melakukan investasi itu.

Problem berikutnya berkaitan dengan masalah biaya yang dibebankan ke konsumen. Kasus penolakan masyarakat terhadap pungutan top up e-money justru membuka diskursus permasalahan aturan GPN ke tingkat yang lebih jauh. Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah nilai transaksi e-money sampai Juli 2017 baru mencapai 1,14% dari seluruh transaksi pembayaran di Indonesia.

Bahkan rasio penggunaan uang elektronik di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan Malaysia, Singapura dan Thailand. Keputusan untuk menerapkan biaya top up karena bank merasa pantas memungut biaya itu karena mahalnya biaya investasi infrastruktur e-money jelas cukup aneh. Ini menandakan tingkat inovasi sistem pembayaran di Indonesia tidak menciptakan efisiensi yang merupakan tujuan utama GPN.

Oleh karenanya, perusahaan yang bisa menciptakan inovasi seharusnya didorong bukan dipersulit dengan berbagai aturan. Jangan sampai GPN melahirkan biaya-biaya baru yang memberatkan konsumen dan memperlambat laju perpindahan transaksi tunai ke elektronik.

Konsep GPN yang masih setengah jadi juga rentan terhadap fraud maupun serangan siber (cyber attack). Serangan siber sendiri di sektor jasa keuangan terus meningkat. Berdasarkan data statistik Cyber Security Kaspersky tahun 2016, Indonesia berada dalam peringkat ke-19 negara dengan sistem keamanan siber yang paling lemah di dunia. Sektor keuangan pun berkontribusi sebesar 47,4% dari total jumlah serangan siber dalam satu tahun terakhir. Sektor itu terdiri dari bank sebesar 25,7% dan sistem pembayaran 10,17%.

Peran perusahaan switching dalam melindungi data dan transaksi konsumen dari serangan siber di jasa keuangan pun cukup besar. Disini letak keunggulan perusahaan switching yang beroperasi di banyak negara, dengan economic scale yang besar maka perbaikan sistem keuangan dapat dimanfaatkan secara global. Untuk switching lokal terutama yang “naik kelas” dari layanan ATM ke pembayaran point-of-sale dan online, masalah keamanan masih jadi tantangan utama.

Perlindungan konsumen masih sangat lemah, jika terjadi kasus fraud atau kegagalan transaksi konsumen akan menuduh bank sebagai penyebab utama. Padahal perlindungan konsumen merupakan kewajiban perusahaan jasa switching. Jadi Bank Indonesia sebagai regulator juga perlu membuat skema perlindungan konsumen khususnya penanganan fraud dalam aturan GPN.

Belum terlambat bagi Bank Indonesia untuk menyempurnakan aturan GPN sehingga ekosistem pembayaran menjadi lebih efisien dan bermanfaat bagi konsumen. Uji publik sebagai penyempurnaan proses pembuatan aturan juga sangat penting. Suara konsumen perlu jadi perhatian utama. Jangan sampai aturan dibuat tanpa pertimbangan konsumen sehingga Gerakan Nasional Non-Tunai kurang mendapatkan dukungan dari masyarakat.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5735 seconds (0.1#10.140)