Simplikasi Cukai Rokok Dinilai Membuat IHT Terpuruk
A
A
A
BANDUNG - Penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146 Tahun 2017 terkait simplifikasi cukai rokok dinilai akademisi perlu dilakukan dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dampaknya secara keseluruhan. Baik terhadap petani tembakau maupun industri hasil tembakau (IHT).
"Implementasi simplifikasi berpeluang berdampak langsung terhadap petani tembakau, juga menurunkan penerimaan negara dari cukai rokok," kata dosen Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, Mudiyati Rahmatunnisa di Bandung, Rabu (10/10/2018).
Menurutnya, kebijakan baru tersebut membuat IHT semakin terpuruk, yang pada gilirannya akan mengurangi serapan hasil petani tembakau oleh industri. Dari sisi pendapatan negara, ujar dia, kenaikan cukai rokok memang berpotensi meningkatkan penerimaan negara, tapi pertumbuhan penerimaannya semakin mengecil seiring dengan penyederhanaan struktur tarif cukai.
“Berdasarkan simulasi yang dilakukan tim akademisi dengan menggunakan analisis kuantitatif dengan statistik deskriptif dan pendekatan inferensial, menggunakan ekonometrik berbasis panel, diperoleh hasil penyederhanaan struktur tarif cukai akan memperlambat volume industri dan juga memperlambat pendapatan negara atas cukai IHT,” ujar Mudiyati.
Ia menambahkan, khusus untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), respons simplifikasi terlihat pada peningkatan tarif cukai dan menunjukkan penurunan volume produksi SKT. Mengingat dampaknya terhadap petani tembakau dan penurunan produksi IHT secara keseluruhan, Mudiyati meminta pemerintah perlu mengkaji dan mempertimbangkan kembali.
"Atau pemerintah menunda rencana menyederhanakan struktur tarif cukai rokok, hingga ada kajian lengkap terkait dampaknya di semua lini, petani dan industri," pungkasnya.
Data Kementerian Keuangan, menyebutkan, pertumbuhan volume produksi rokok terus melambat sejak 2012. Bahkan, mulai mengalami penurunan volume sejak 2016. Volume produksi IHT pada 2012 tercatat 325 miliar batang. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi IHT masih tumbuh setiap tahun, meski dalam tren melambat.
Pada 2015, produksi IHT sempat menyentuh 348 miliar batang. Pada 2016, volume produksi rokok turun menjadi enam miliar batang atau 1,72% menjadi 342 miliar batang dari realisasi 2015. Volume produksi diperkirakan turun kembali pada 2017 menjadi 331 miliar batang, dan diproyeksikan turun lagi menjadi 324 miliar batang pada 2018.
Bersamaan dengan itu, penerimaan cukai IHT juga melambat. Pada 2012 tercatat Rp90,55 triliun atau tumbuh 24% dari 2011. Namun pada 2013, realisasi penerimaan cukai melambat hanya tumbuh 14,4% menjadi Rp103,56 triliun. Kinerja penerimaan cukai terus melambat pada tahun-tahun berikutnya.
Pada 2016, penerimaan cukai IHT hanya naik 11,95% menjadi Rp137,93 triliun. Tren penurunan penerimaan cukai IHT berlanjut di tahun 2017 yang hanya tumbuh enam persen menjadi Rp 145,48 triliun. Lalu untuk tahun 2018, pemerintah hanya mematok target penerimaan cukai IHT sebesar Rp 148,23 triliun, atau naik 0,5% dari target 2017 sebesar Rp147,49 triliun.
"Implementasi simplifikasi berpeluang berdampak langsung terhadap petani tembakau, juga menurunkan penerimaan negara dari cukai rokok," kata dosen Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, Mudiyati Rahmatunnisa di Bandung, Rabu (10/10/2018).
Menurutnya, kebijakan baru tersebut membuat IHT semakin terpuruk, yang pada gilirannya akan mengurangi serapan hasil petani tembakau oleh industri. Dari sisi pendapatan negara, ujar dia, kenaikan cukai rokok memang berpotensi meningkatkan penerimaan negara, tapi pertumbuhan penerimaannya semakin mengecil seiring dengan penyederhanaan struktur tarif cukai.
“Berdasarkan simulasi yang dilakukan tim akademisi dengan menggunakan analisis kuantitatif dengan statistik deskriptif dan pendekatan inferensial, menggunakan ekonometrik berbasis panel, diperoleh hasil penyederhanaan struktur tarif cukai akan memperlambat volume industri dan juga memperlambat pendapatan negara atas cukai IHT,” ujar Mudiyati.
Ia menambahkan, khusus untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), respons simplifikasi terlihat pada peningkatan tarif cukai dan menunjukkan penurunan volume produksi SKT. Mengingat dampaknya terhadap petani tembakau dan penurunan produksi IHT secara keseluruhan, Mudiyati meminta pemerintah perlu mengkaji dan mempertimbangkan kembali.
"Atau pemerintah menunda rencana menyederhanakan struktur tarif cukai rokok, hingga ada kajian lengkap terkait dampaknya di semua lini, petani dan industri," pungkasnya.
Data Kementerian Keuangan, menyebutkan, pertumbuhan volume produksi rokok terus melambat sejak 2012. Bahkan, mulai mengalami penurunan volume sejak 2016. Volume produksi IHT pada 2012 tercatat 325 miliar batang. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi IHT masih tumbuh setiap tahun, meski dalam tren melambat.
Pada 2015, produksi IHT sempat menyentuh 348 miliar batang. Pada 2016, volume produksi rokok turun menjadi enam miliar batang atau 1,72% menjadi 342 miliar batang dari realisasi 2015. Volume produksi diperkirakan turun kembali pada 2017 menjadi 331 miliar batang, dan diproyeksikan turun lagi menjadi 324 miliar batang pada 2018.
Bersamaan dengan itu, penerimaan cukai IHT juga melambat. Pada 2012 tercatat Rp90,55 triliun atau tumbuh 24% dari 2011. Namun pada 2013, realisasi penerimaan cukai melambat hanya tumbuh 14,4% menjadi Rp103,56 triliun. Kinerja penerimaan cukai terus melambat pada tahun-tahun berikutnya.
Pada 2016, penerimaan cukai IHT hanya naik 11,95% menjadi Rp137,93 triliun. Tren penurunan penerimaan cukai IHT berlanjut di tahun 2017 yang hanya tumbuh enam persen menjadi Rp 145,48 triliun. Lalu untuk tahun 2018, pemerintah hanya mematok target penerimaan cukai IHT sebesar Rp 148,23 triliun, atau naik 0,5% dari target 2017 sebesar Rp147,49 triliun.
(akr)