Perang Dagang Bikin Sektor Manufaktur China Memburuk dalam Dua Tahun
A
A
A
BEIJING - Sektor manufaktur China pada bulan Oktober melaju dalam jalur terlemahnya lebih dari dua tahun, seiring tergerusnya permintaan domestik dan eksternal yang melambat. Hal ini menjadi sinyal keretakan ekonomi Negeri Tirai Bambu -julukan China- terimbas perang dagang yang semakin intensif dengan Amerika Serikat.
Seperti dilansir Reuters, Rabu (31/10/2018) kecemasan seputar penyusutan pertumbuhan China serta kemungkinan penurunan pada ekonomi global, telah mengganggu pasar keuangan baru-baru ini. Purchasing Managers’ Index (PMI) resmi Rabu menunjukkan lebih banyak tekanan bagi investor selama beberapa bulan mendatang.
PMI resmi yang memberikan investor global pandangan pertama mereka pada kondisi bisnis di China pada awal kuartal terakhir tahun ini turun menjadi 50,2 pada bulan Oktober. Angka ini menjadi yang terendah sejak Juli 2016 dan turun dari 50,8 pada bulan September.
Hal ini menandakan sentuhan di atas posisi 50 poin yang memisahkan pertumbuhan dari kontraksi untuk 27 bulan berturut-turut, tetapi undershot perkiraan 50,6 dalam jajak pendapat Reuters. Diyakini ekonomi terbesar kedua di dunia ini kehilangan momentum lebih lanjut dengan memburuknya lingkungan untuk berbisnis.
Kondisi tersebut dapat mendorong lebih banyak dukungan kebijakan dari Beijing atas serangkaian inisiatif belum lama ini. Order ekspor terbaru, indikator aktivitas ke depannya, dikontrak untuk bulan kelima berturut-turut serta pada laju tercepat setidaknya dalam satu tahun. Sub-indeks turun menjadi 46,9 dari 48,0 di September.
Sementara sebagian besar ekspor China masih cukup karena pengiriman perusahaan lebih cepat untuk menghindari sanksi AS terbaru. Analis melihat tekanan akan terus ada dalam beberapa bulan mendatang. Kemerosotan terus menerus dalam pesanan ekspor kemungkinan akan di luar skenario.
Oktober menjadi bulan penuh pertama setelah tarif AS terakhir diberlakukan. Washington dan Beijing telah saling menetapkan tarif tambahan atas produk-produk satu sama lain pada 24 September, dan Presiden AS Donald Trump mengancam akan menetarapkan tarif baru untuk sisa impor China.
Jika Amerika Serikat menindaklanjuti janjinya untuk menaikkan tarifnya hingga 25% pada pergantian tahun, eksportir akan merasakan lebih banyak beban. Pembuat kebijakan global tetap cemas tentang kejatuhan yang lebih luas dari kebijakan proteksionis yang dipimpin AS.
Jepang pada Rabu melaporkan produksi industri yang lemah untuk September, sebagian besar karena sengketa perdagangan China-AS membebani ekspor. Sementara produksi pabrik Korea Selatan untuk bulan lalu menyusut paling dalam lebih dari satu setengah tahun.
Seperti dilansir Reuters, Rabu (31/10/2018) kecemasan seputar penyusutan pertumbuhan China serta kemungkinan penurunan pada ekonomi global, telah mengganggu pasar keuangan baru-baru ini. Purchasing Managers’ Index (PMI) resmi Rabu menunjukkan lebih banyak tekanan bagi investor selama beberapa bulan mendatang.
PMI resmi yang memberikan investor global pandangan pertama mereka pada kondisi bisnis di China pada awal kuartal terakhir tahun ini turun menjadi 50,2 pada bulan Oktober. Angka ini menjadi yang terendah sejak Juli 2016 dan turun dari 50,8 pada bulan September.
Hal ini menandakan sentuhan di atas posisi 50 poin yang memisahkan pertumbuhan dari kontraksi untuk 27 bulan berturut-turut, tetapi undershot perkiraan 50,6 dalam jajak pendapat Reuters. Diyakini ekonomi terbesar kedua di dunia ini kehilangan momentum lebih lanjut dengan memburuknya lingkungan untuk berbisnis.
Kondisi tersebut dapat mendorong lebih banyak dukungan kebijakan dari Beijing atas serangkaian inisiatif belum lama ini. Order ekspor terbaru, indikator aktivitas ke depannya, dikontrak untuk bulan kelima berturut-turut serta pada laju tercepat setidaknya dalam satu tahun. Sub-indeks turun menjadi 46,9 dari 48,0 di September.
Sementara sebagian besar ekspor China masih cukup karena pengiriman perusahaan lebih cepat untuk menghindari sanksi AS terbaru. Analis melihat tekanan akan terus ada dalam beberapa bulan mendatang. Kemerosotan terus menerus dalam pesanan ekspor kemungkinan akan di luar skenario.
Oktober menjadi bulan penuh pertama setelah tarif AS terakhir diberlakukan. Washington dan Beijing telah saling menetapkan tarif tambahan atas produk-produk satu sama lain pada 24 September, dan Presiden AS Donald Trump mengancam akan menetarapkan tarif baru untuk sisa impor China.
Jika Amerika Serikat menindaklanjuti janjinya untuk menaikkan tarifnya hingga 25% pada pergantian tahun, eksportir akan merasakan lebih banyak beban. Pembuat kebijakan global tetap cemas tentang kejatuhan yang lebih luas dari kebijakan proteksionis yang dipimpin AS.
Jepang pada Rabu melaporkan produksi industri yang lemah untuk September, sebagian besar karena sengketa perdagangan China-AS membebani ekspor. Sementara produksi pabrik Korea Selatan untuk bulan lalu menyusut paling dalam lebih dari satu setengah tahun.
(akr)