Sri Mulyani Bicara Soal Ketidakadilan Gender di Lingkungan Kemenkeu
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan perlunya para pejabat memiliki sensitivitas gender. Sensitivitas gender artinya merekonstruksi cara berpikir terkait gender. Hal ini disebabkan karena norma dan konstruksi sosial saat ini dirasakan masih merugikan posisi perempuan terutama dalam hal akses, partisipasi, kontrol dan manfaat.
“Kalau kita bicara tentang kesenjangan diskriminasi itu terdiri dari empat aksesnya, partisipasinya, kontrol dan manfaat,” ujar Menkeu Sri Mulyani lewat keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Menurut Menkeu, akar masalahnya seringkali terdapat pada cara pikir (persepsi dan norma) umum yang berlaku di masyarakat, bukan pada peraturan yang ada. Misalnya, meskipun dibuka akses yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menduduki jabatan tertentu, terhambat persepsi dan norma yang berlaku di masyarakat.
“Saya tidak ingin perempuan itu (dapat) jatah saja (untuk menduduki karir tertentu). Namun saya sebetulnya yakin kalau kita bicara akses dan partisipasi, banyak perempuan di Indonesia itu, beban untuk bisa mencapai suatu karir tertentu itu lebih berat dari laki-laki. Karena memang secara konstruksi sosial perempuan itu diletakkan lebih rendah, atau dalam hal ini dia harus membuktikan lebih banyak untuk bisa di tempat yang sama,” tambah Menkeu.
Dalam kesempatan tersebut Menkeu memaparkan hasil salah satu survei yang dilakukan oleh Women Career Advancement in Public Service tahun 2012 yang dilakukan di lingkungan pegawai negeri sipil di Indonesia menunjukkan bahwa hambatan karir perempuan terutama karena mereka cenderung menolak pekerjaan jika jauh dari tempat tinggalnya dan lebih memilih untuk mengasuh anak.
Lebih lanjut, Menkeu menjelaskan bahwa hal tersebut tidak terlepas dari tekanan persepsi masyarakat secara umum yang melihat peran laki-laki dan perempuan yang tidak setara. Survei mengindikasikan bahwa perempuan karir dinilai lebih rendah dibandingkan dengan perempuan yang memiliki anak. “Itu, like it or not, those perceptions itu menjadi stigma yang membebani kita yang bekerja,” jelas Menkeu.
Oleh karena itu, untuk mengurangi ketimpangan perbedaan dan ketidakadilan gender terutama di lingkungan kerja Kemenkeu, Menkeu mendorong agar para pejabat merubah pola pikirnya dengan lebih mengedepankan sensitivitas gender sehingga diharapkan Kemenkeu memiliki environment yang lebih friendly dan supportive bagi para pegawai perempuan. Salah satu bentuknya adalah dimulai dari identifikasi masalah berdasarkan evidence-based gender.
"Kalau ada evidence-nya, ada statistiknya maka kita bisa membuka permasalahan itu secara obyektif. Kemudian kalau kita sudah tahu persoalannya secara obyektif kita bisa juga membuat remedy-nya atau koreksinya secara lebih baik,” pesan Menkeu
Menkeu menegaskan bahwa konstruksi sosial masyarakat yang terbentuk secara umum cenderung lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan. Diperlukan identifikasi masalah dan terobosan-terobosan kebijakan yang lebih suportif mendorong, menumbuhkan rasa percaya diri dan memberdayakan para pegawai perempuan untuk lebih maju.
“Jadi, tempat kita mulai membiasakan melakukan identifikasi perbedaan gender itu supaya kita makin gender sensitive. Kalau Anda gender neutral saja itu sebetulnya Anda sebetulnya bias (condong menguntungkan) kepada laki-laki. Karena dunia itu sudah njomplang (kondisi tidak imbang yang cenderung menguntungkan laki-laki). Jadi kalau saya (berpikir) laki-laki-perempuan sama saja itu sebetulnya Anda membela laki-laki karena perempuan itu by default inferior secara construction social. Jadi kalau Anda mengatakan 'saya gender neutral', itu berarti anda tidak melakukan koreksi,” pungkasnya.
“Kalau kita bicara tentang kesenjangan diskriminasi itu terdiri dari empat aksesnya, partisipasinya, kontrol dan manfaat,” ujar Menkeu Sri Mulyani lewat keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Menurut Menkeu, akar masalahnya seringkali terdapat pada cara pikir (persepsi dan norma) umum yang berlaku di masyarakat, bukan pada peraturan yang ada. Misalnya, meskipun dibuka akses yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menduduki jabatan tertentu, terhambat persepsi dan norma yang berlaku di masyarakat.
“Saya tidak ingin perempuan itu (dapat) jatah saja (untuk menduduki karir tertentu). Namun saya sebetulnya yakin kalau kita bicara akses dan partisipasi, banyak perempuan di Indonesia itu, beban untuk bisa mencapai suatu karir tertentu itu lebih berat dari laki-laki. Karena memang secara konstruksi sosial perempuan itu diletakkan lebih rendah, atau dalam hal ini dia harus membuktikan lebih banyak untuk bisa di tempat yang sama,” tambah Menkeu.
Dalam kesempatan tersebut Menkeu memaparkan hasil salah satu survei yang dilakukan oleh Women Career Advancement in Public Service tahun 2012 yang dilakukan di lingkungan pegawai negeri sipil di Indonesia menunjukkan bahwa hambatan karir perempuan terutama karena mereka cenderung menolak pekerjaan jika jauh dari tempat tinggalnya dan lebih memilih untuk mengasuh anak.
Lebih lanjut, Menkeu menjelaskan bahwa hal tersebut tidak terlepas dari tekanan persepsi masyarakat secara umum yang melihat peran laki-laki dan perempuan yang tidak setara. Survei mengindikasikan bahwa perempuan karir dinilai lebih rendah dibandingkan dengan perempuan yang memiliki anak. “Itu, like it or not, those perceptions itu menjadi stigma yang membebani kita yang bekerja,” jelas Menkeu.
Oleh karena itu, untuk mengurangi ketimpangan perbedaan dan ketidakadilan gender terutama di lingkungan kerja Kemenkeu, Menkeu mendorong agar para pejabat merubah pola pikirnya dengan lebih mengedepankan sensitivitas gender sehingga diharapkan Kemenkeu memiliki environment yang lebih friendly dan supportive bagi para pegawai perempuan. Salah satu bentuknya adalah dimulai dari identifikasi masalah berdasarkan evidence-based gender.
"Kalau ada evidence-nya, ada statistiknya maka kita bisa membuka permasalahan itu secara obyektif. Kemudian kalau kita sudah tahu persoalannya secara obyektif kita bisa juga membuat remedy-nya atau koreksinya secara lebih baik,” pesan Menkeu
Menkeu menegaskan bahwa konstruksi sosial masyarakat yang terbentuk secara umum cenderung lebih menguntungkan laki-laki daripada perempuan. Diperlukan identifikasi masalah dan terobosan-terobosan kebijakan yang lebih suportif mendorong, menumbuhkan rasa percaya diri dan memberdayakan para pegawai perempuan untuk lebih maju.
“Jadi, tempat kita mulai membiasakan melakukan identifikasi perbedaan gender itu supaya kita makin gender sensitive. Kalau Anda gender neutral saja itu sebetulnya Anda sebetulnya bias (condong menguntungkan) kepada laki-laki. Karena dunia itu sudah njomplang (kondisi tidak imbang yang cenderung menguntungkan laki-laki). Jadi kalau saya (berpikir) laki-laki-perempuan sama saja itu sebetulnya Anda membela laki-laki karena perempuan itu by default inferior secara construction social. Jadi kalau Anda mengatakan 'saya gender neutral', itu berarti anda tidak melakukan koreksi,” pungkasnya.
(akr)