Tarif Tak Menarik, Medco Enggan Ikuti Lelang WK Panas Bumi
A
A
A
JAKARTA - Regulasi terkait tarif listrik pembangkit panas bumi yang dinilai masih belum menarik menjadi hambatan pengembangan salah satu sumber energi baru terbarukan tersebut di Indonesia.
Salah satu perusahaan pengembang energi panas bumi, Medco Energi, bahkan mengaku belum tertarik mengikuti lelang empat Wilayah Kerja (WK) panas bumi yang rencananya akan digear Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun ini, terkait aturan mengenai tarif yang ada.
Sejumlah WKP yang akan dilelang tersebut adalah WKP Telaga Ranu dengan cadangan 85 MW di Maluku Utara, WKP Sembalun 100 MW di Nusa Tenggara Barat, WKP Gunung Wilis 50 MW di Jawa Timur dan WKP Gunung Galunggung 160 MW di Jawa Barat.
"Lelang itu is one thing tapi lihat bagaimana sistem tarif itu nantinya akan diberlakukan," ujar Presiden Direktur Medco Energi Internasional Hilmi Panigoro saat ditemui di acara Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition 2019 bertajuk "Making Geothermal the Energy of Today" di JCC, Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Menurut dia dengan kondisi peraturan tarif listrik sekarang ini dipastikan pengembang panas bumi sulit merencanakan investasi. Regulasi tarif listrik yang tidak menguntungkan membuat Medco belum mempunyai target pengembangan wilayah baru.
"Kita belum bisa target, karena aturannya belum jelas sehingga kita belum bisa planning khusus. Tapi kalau ingin, kita ingin mengembangkan sebanyak mungkin karena hari ini dunia sedang menuju yang namanya energi transisi sehingga semua maunya renewable energy," kata Hilmi.
Sebab itu pihaknya berharap pemerintah membuat aturan tarif baru yang berpihak kepada investor sehingga pengembangan panas bumi lebih atraktif. Pasalnya kebutuhan investasi pengembangan panas bumi (pembangkit listrik tenaga panas bumi/PLTP) cukup besar.
"Investasi geothermal itu mencapai USD5 juta per megawatt (MW). Jadi kalau tarif terlalu rendah berat kita investasi. Makanya itu, tarif diberesin dulu," cetusnya.
Sebagai gambaran tarif listrik di PLTP Sarulla adalah sebesar USD6,9 sen per kWh berbeda dengan tarif di Sumatera Utara yang rata-rata USD10,2 sen per kWh. Artinya pengembang PLTP rata-rata hanya dihargai 60% dari harga listrik.
"Sebab itu kita minta supaya tarif itu di-link pada risiko di lapangan. Pengusaha itu sederhana kok, kasih kita return yang cocok pasti kita invest," tandasnya.
Salah satu perusahaan pengembang energi panas bumi, Medco Energi, bahkan mengaku belum tertarik mengikuti lelang empat Wilayah Kerja (WK) panas bumi yang rencananya akan digear Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun ini, terkait aturan mengenai tarif yang ada.
Sejumlah WKP yang akan dilelang tersebut adalah WKP Telaga Ranu dengan cadangan 85 MW di Maluku Utara, WKP Sembalun 100 MW di Nusa Tenggara Barat, WKP Gunung Wilis 50 MW di Jawa Timur dan WKP Gunung Galunggung 160 MW di Jawa Barat.
"Lelang itu is one thing tapi lihat bagaimana sistem tarif itu nantinya akan diberlakukan," ujar Presiden Direktur Medco Energi Internasional Hilmi Panigoro saat ditemui di acara Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition 2019 bertajuk "Making Geothermal the Energy of Today" di JCC, Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Menurut dia dengan kondisi peraturan tarif listrik sekarang ini dipastikan pengembang panas bumi sulit merencanakan investasi. Regulasi tarif listrik yang tidak menguntungkan membuat Medco belum mempunyai target pengembangan wilayah baru.
"Kita belum bisa target, karena aturannya belum jelas sehingga kita belum bisa planning khusus. Tapi kalau ingin, kita ingin mengembangkan sebanyak mungkin karena hari ini dunia sedang menuju yang namanya energi transisi sehingga semua maunya renewable energy," kata Hilmi.
Sebab itu pihaknya berharap pemerintah membuat aturan tarif baru yang berpihak kepada investor sehingga pengembangan panas bumi lebih atraktif. Pasalnya kebutuhan investasi pengembangan panas bumi (pembangkit listrik tenaga panas bumi/PLTP) cukup besar.
"Investasi geothermal itu mencapai USD5 juta per megawatt (MW). Jadi kalau tarif terlalu rendah berat kita investasi. Makanya itu, tarif diberesin dulu," cetusnya.
Sebagai gambaran tarif listrik di PLTP Sarulla adalah sebesar USD6,9 sen per kWh berbeda dengan tarif di Sumatera Utara yang rata-rata USD10,2 sen per kWh. Artinya pengembang PLTP rata-rata hanya dihargai 60% dari harga listrik.
"Sebab itu kita minta supaya tarif itu di-link pada risiko di lapangan. Pengusaha itu sederhana kok, kasih kita return yang cocok pasti kita invest," tandasnya.
(fjo)