Omnibus Law, Pengamat Beri Catatan Lemahnya Perencanaan Investasi
A
A
A
JAKARTA - RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan bakal segera diajukan pemerintah kepada DPR, sebagai upaya perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia. Menanggapi hal itu Peneliti Institute on Development of Economics and Finance (INDEF) Centre of Investment, Trade, and Industry Ariyo DP Irhamna mengingatkan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni seputar investasi.
Antara lain perencanaan investasi, izin investasi, pengendalian dan pelaksanaan investasi, serta promosi investasi. "Selama ini pemerintah, melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hanya fokus terhadap hilir (realisasi investasi) namun sayangnya masih sangat lemah di hulu (perencanaan investasi)," ujar Ariyo di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Sambung dia menerangkan, hal tersebut dipicu oleh belum optimalnya peran BKPM dalam melakukan koordinasi perencanaan proyek investasi. "Salah satu agenda besar di Omnibus Law adalah izin investasi. Di sisi lain, hal tersebut disebabkan juga oleh project owner dari proyek-proyek investasi dimiliki oleh Pemerintah Pusat, BUMN, dan BUMD," terangnya.
Sehingga, lanjut Ariyo, dalam Omnibus Law ini perlu juga memasukkan aturan yang memperkuat BKPM dalam perencanaan investasi. "Secara umum, izin investasi terhambat banyak di izin lokasi dan izin teknis, contohnya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk proyek investasi Lapangan Geothermal Hululais. Izin-izin teknis seperti itu memang memerlukan waktu yang tidak bisa cepat," ungkapnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia menyarankan sebaiknya kegiatan penanaman modal bisa dilakukan ketika sudah mendapatkan Izin Usaha. Setelah itu, investor wajib mendapatkan izin-izin lainnya sesuai dengan kebutuhan jenis/industri investasi, izin lokasi, izin lingkungan, izin komersial/operasional, dan izin-izin teknis berdasarkan industri. "Sehingga investor sudah bisa melakukan sewa kantor, rekrut karyawan, iklan dan aktivitas bisnis dasar lainnya," tutur Ariyo.
Menurutnya, kebijakan tersebut dapat mempercepat realisasi investasi tanpa mengabaikan atau menghapus izin-izin teknis yang juga penting untuk menjaga ekosistem lingkungan hidup dan hak sosial. "Hal lain yang juga sering luput adalah aspek pengendalian dan pelaksanaan," ujarnya.
Sambung Ariyo menjelaskan, bahwa masalah dari promosi investasi adalah pemerintah selama ini terlalu banyak prioritas. Selain itu, prioritas yang dimiliki BKPM berbeda dengan prioritas industri yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian dan kementerian teknis.
"Beberapa karakteristik investor yang perlu dimiliki antara lain komitmen investor untuk alih teknologi, serta memiliki komitmen untuk menggunakan tenaga kerja lokal dan sumber daya lokal," pungkasnya.
Ariyo menyampaikan bahwa pemerintah juga harus lebih selektif dalam memilih potensial investor. Oleh sebab itu, Omnibus Law perlu mengatur prioritas investasi harus sejalan dengan dengan prioritas industri.
"Selain itu, DPR perlu membentuk pansus untuk Omnibus Law ini sebagai bentuk fungsi pengawasan. Sebab, Omnibus Law membahas hal-hal strategis dan agar civil society terlibat juga dalam penyusunan Omnibus Law," tuturnya.
Antara lain perencanaan investasi, izin investasi, pengendalian dan pelaksanaan investasi, serta promosi investasi. "Selama ini pemerintah, melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hanya fokus terhadap hilir (realisasi investasi) namun sayangnya masih sangat lemah di hulu (perencanaan investasi)," ujar Ariyo di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Sambung dia menerangkan, hal tersebut dipicu oleh belum optimalnya peran BKPM dalam melakukan koordinasi perencanaan proyek investasi. "Salah satu agenda besar di Omnibus Law adalah izin investasi. Di sisi lain, hal tersebut disebabkan juga oleh project owner dari proyek-proyek investasi dimiliki oleh Pemerintah Pusat, BUMN, dan BUMD," terangnya.
Sehingga, lanjut Ariyo, dalam Omnibus Law ini perlu juga memasukkan aturan yang memperkuat BKPM dalam perencanaan investasi. "Secara umum, izin investasi terhambat banyak di izin lokasi dan izin teknis, contohnya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk proyek investasi Lapangan Geothermal Hululais. Izin-izin teknis seperti itu memang memerlukan waktu yang tidak bisa cepat," ungkapnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia menyarankan sebaiknya kegiatan penanaman modal bisa dilakukan ketika sudah mendapatkan Izin Usaha. Setelah itu, investor wajib mendapatkan izin-izin lainnya sesuai dengan kebutuhan jenis/industri investasi, izin lokasi, izin lingkungan, izin komersial/operasional, dan izin-izin teknis berdasarkan industri. "Sehingga investor sudah bisa melakukan sewa kantor, rekrut karyawan, iklan dan aktivitas bisnis dasar lainnya," tutur Ariyo.
Menurutnya, kebijakan tersebut dapat mempercepat realisasi investasi tanpa mengabaikan atau menghapus izin-izin teknis yang juga penting untuk menjaga ekosistem lingkungan hidup dan hak sosial. "Hal lain yang juga sering luput adalah aspek pengendalian dan pelaksanaan," ujarnya.
Sambung Ariyo menjelaskan, bahwa masalah dari promosi investasi adalah pemerintah selama ini terlalu banyak prioritas. Selain itu, prioritas yang dimiliki BKPM berbeda dengan prioritas industri yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian dan kementerian teknis.
"Beberapa karakteristik investor yang perlu dimiliki antara lain komitmen investor untuk alih teknologi, serta memiliki komitmen untuk menggunakan tenaga kerja lokal dan sumber daya lokal," pungkasnya.
Ariyo menyampaikan bahwa pemerintah juga harus lebih selektif dalam memilih potensial investor. Oleh sebab itu, Omnibus Law perlu mengatur prioritas investasi harus sejalan dengan dengan prioritas industri.
"Selain itu, DPR perlu membentuk pansus untuk Omnibus Law ini sebagai bentuk fungsi pengawasan. Sebab, Omnibus Law membahas hal-hal strategis dan agar civil society terlibat juga dalam penyusunan Omnibus Law," tuturnya.
(akr)