Omnibus Law, Antara Harapan Tarik Investasi dan Sentralistik
A
A
A
JAKARTA - Omnibus Law yang tengah digagas oleh pemerintah memiliki dua sisi yakni harapan dapat menarik investasi lewat penyederhanaan aturan, serta berubahnya tantanan menjadi sentralistrik. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengungkapkan, kebijakan yang berjalan tidak lagi menjadi desentralisasi dengan memberikan kewenangan daerah tetapi mengikat menjadi kembali sentralistik.
"Kebijakan akan terasa mengarah pada top-down dibandingkan bottom-up.Ini terlihat dari beberapa kewenangan daerah akan dicabut," ujar Andry di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Lebih lanjut terang dia, tentu tidak hanya kewenangan daerah, bahkan beberapa kewenangan setingkat menteri yang digambarkan melalui Peraturan Menteri dan perizinan dengan persetujuan Menteri akan digantikan menjadi Peraturan Pemerintah (PP). "Hal tersebut memiliki dua implikasi, di satu sisi biaya dalam pengambilan kebijakan akan terasa lebih murah dan cepat," ungkapnya.
(Baca Juga: Omnibus Law, Pengamat Beri Catatan Lemahnya Perencanaan Investasi)Namun di sisi lain, sambung Ia melanjutkan, akan terjadi kesewenangan karena tidak ada kontrol lain yang terlibat selain pengambil kebijakan yaitu pemerintah pusat. "Lebih-lebih moral hazard bisa saja terjadi, jika saja hal ini tidak dibuka ke publik. Akan menjadi preseden buruk jika publik hanya menganggap inisiatif tersebut hanya melenggangkan kepentingan segelintir pengusaha dengan agenda-agendanya," tutur Andry.
Omnibus law sendiri merupakan alat merampingkan banyak aturan menjadi satu undang-undang yang juga akan menghapus banyak regulasi dan mengurangi jumlah regulasi. Akan tetapi diingatkan banyak kelompok yang tidak terpapar informasi secara maksimal akhirnya tidak tahu prosesnya seperti apa, padahal omnibus law ini akan terikat juga pada seluruh warga negara Indonesia.
Aturan bukanlah obat segalanya. Regulasi hanyalah tahap pertama dari tahap lain dalam menyelesaikan masalah investasi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah DIMINTA harus memiliki strategi khusus dalam melaksanakan regulasi itu. Seperti diterangkan peneliti Indef, Ariyo DP Irhamna bahwa selama ini pemerintah, menurutnya hanya fokus terhadap hilir (realisasi investasi) namun sayangnya masih sangat lemah di hulu (perencanaan investasi).
Sehingga, lanjut Ariyo, dalam Omnibus Law ini perlu juga memasukkan aturan yang memperkuat BKPM dalam perencanaan investasi. "Secara umum, izin investasi terhambat banyak di izin lokasi dan izin teknis, contohnya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk proyek investasi Lapangan Geothermal Hululais. Izin-izin teknis seperti itu memang memerlukan waktu yang tidak bisa cepat," ungkapnya.
"Kebijakan akan terasa mengarah pada top-down dibandingkan bottom-up.Ini terlihat dari beberapa kewenangan daerah akan dicabut," ujar Andry di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Lebih lanjut terang dia, tentu tidak hanya kewenangan daerah, bahkan beberapa kewenangan setingkat menteri yang digambarkan melalui Peraturan Menteri dan perizinan dengan persetujuan Menteri akan digantikan menjadi Peraturan Pemerintah (PP). "Hal tersebut memiliki dua implikasi, di satu sisi biaya dalam pengambilan kebijakan akan terasa lebih murah dan cepat," ungkapnya.
(Baca Juga: Omnibus Law, Pengamat Beri Catatan Lemahnya Perencanaan Investasi)Namun di sisi lain, sambung Ia melanjutkan, akan terjadi kesewenangan karena tidak ada kontrol lain yang terlibat selain pengambil kebijakan yaitu pemerintah pusat. "Lebih-lebih moral hazard bisa saja terjadi, jika saja hal ini tidak dibuka ke publik. Akan menjadi preseden buruk jika publik hanya menganggap inisiatif tersebut hanya melenggangkan kepentingan segelintir pengusaha dengan agenda-agendanya," tutur Andry.
Omnibus law sendiri merupakan alat merampingkan banyak aturan menjadi satu undang-undang yang juga akan menghapus banyak regulasi dan mengurangi jumlah regulasi. Akan tetapi diingatkan banyak kelompok yang tidak terpapar informasi secara maksimal akhirnya tidak tahu prosesnya seperti apa, padahal omnibus law ini akan terikat juga pada seluruh warga negara Indonesia.
Aturan bukanlah obat segalanya. Regulasi hanyalah tahap pertama dari tahap lain dalam menyelesaikan masalah investasi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah DIMINTA harus memiliki strategi khusus dalam melaksanakan regulasi itu. Seperti diterangkan peneliti Indef, Ariyo DP Irhamna bahwa selama ini pemerintah, menurutnya hanya fokus terhadap hilir (realisasi investasi) namun sayangnya masih sangat lemah di hulu (perencanaan investasi).
Sehingga, lanjut Ariyo, dalam Omnibus Law ini perlu juga memasukkan aturan yang memperkuat BKPM dalam perencanaan investasi. "Secara umum, izin investasi terhambat banyak di izin lokasi dan izin teknis, contohnya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk proyek investasi Lapangan Geothermal Hululais. Izin-izin teknis seperti itu memang memerlukan waktu yang tidak bisa cepat," ungkapnya.
(akr)