Target penjualan kargo LNG tahun ini menurun

Minggu, 15 Juli 2012 - 14:15 WIB
Target penjualan kargo LNG tahun ini menurun
Target penjualan kargo LNG tahun ini menurun
A A A
Sindonews.com - Presiden Direktur PT Badak NGL Nanang Untung mengatakan, target penjualan kargo tahun ini turun 50 kargo dari penjualan 2011 sebanyak 250 kargo kilang gas alam cair (LNG) karena volume terkontrak pada tahun ini memang lebih rendah dari volume terkontrak tahun lalu, berdasarkan pertimbangan kondisi cadangan gas yang kian menurun.

Adapun salah satu kontrak yang menurun volume pengirimannya yaitu kontrak ekspor LNG ke Jepang. Nanang enggan menyebutkan berapa besar volumenya. “Kami tidak bisa sebutkan berapa harganya karena hal itu menjadi wewenang PT Pertamina (Persero) sebagai penjual. Tapi harganya kemungkinan mencapai USD17 per mmbtu,” ungkap Nanang, ketika ditemui SINDO, dalam acara “The Forum Energi” di Laguna Hotel, Nusa Dua, Bali, belum lama ini.

Menurut dia, Sumber gas yang diolah di kilang LNG Badak berasal dari blok Mahakam, Kalimantan Timur, yang dikelola Total E&P Indonesie, perusahaan minyak dan gas asal Perancis. Produksi gas di blok yang semakin turun disinyalir karena belum adanya kepastian dari pemerintah terkait nasib kelanjutan kontrak Total sebagai operator blok ini, apakah akan diperpanjang atau dihentikan oleh pemerintah, sehingga Total pun enggan meningkatkan investasi untuk meningkatkan produksi.

“Tapi kontrak ini juga disesuaikan dengan cadangan gas mereka. Kalau cukup untuk 20 tahun, ya maka akan dijual untuk masa 20 tahun,” ungkapnya.

Nanang juga menjelaskan, kapasitas pengolahan gas di kilang Badak sebenarnya mencapai 22 juta ton LNG per tahun atau setara 350 kargo per tahun. Namun dari awal, perseroan hanya mengolah sekitar 250-300 kargo LNG per tahun.

Dengan menurunnya cadangan gas dari blok Mahakam saat ini, tambahan pasokan gas nantinya akan dikirim dari proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) yang dikelola Chevron Indonesia Company (Cico). Proyek IDD ditargetkan berproduksi gas 900 juta kaki kubik per hari (mmscfd) mulai 2015.

Badak NGL dan Chevron saat ini mengkaji kelayakan pasokan sumber gas untuk kilang Badak. Pereroan juga sedang mendetailkan pembahasannya, karena diproyeksikan dari produksi 900 mmscfd itu perseroan bisa memiliki tambahan olahan gas sekitar 100 kargo per tahun. "Tapi mereka memang belum memastikan jumlahnya berapa," ungkapnya.

Selain dengan Chevron, tambah Nanang, Badak NGL mengaku belum ada pembicaraan dengan kontraktor gas lainnya, termasuk ENI Muara Bakau, anak usaha ENI Spa, perusahaan migas asal Italia, yang mengelola proyek lapangan Jangkrik. “Untuk ENI, kami belum dengar. Pembahasan baru dilakukan dengan Chevron saja,” jelasnya.

Nanang juga menjelaskan, Badak NGL sebagai operator kilang LNG Bontang, Kalimantan Timur, telah menjual sekitar 100 kargo LNG selama semester I 2012 atau separuh dari target penjualan LNG pada tahun ini 200 kargo.

Sementara Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono mengatakan, gas dari kedua proyek LNG tersebut, yakni proyek lapangan Jangkrik dan IDD, akan diolah di kilang LNG Badak. Namun, pembeli gas untuk kedua proyek tersebut belum ditentukan.

Pemerintah juga berencana membangun empat kilang pengolahan LNG untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan penemuan lapangan gas yang relatif besar hingga 2022.

Keempat kilang tersebut yaitu Kilang Donggi Senoro LNG di Sulawesi Tengah yang rencananya akan beroperasi 2014 dengan kapasitas 2 juta metrik ton per tahun (mtpa), Kilang Masela LNG di Laut Arafuru, Maluku, pada 2016 berkapasitas 4,5 mtpa, Kilang Tangguh Train 3 LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat yang akan beroperasi pada 2018 dan Kilang Natuna LNG di Kepulauan Riau pada 2022.

Saat ini Indonesia baru memiliki tiga kilang LNG yaitu Kilang LNG Arun yang berkapasitas 12,85 mtpa, Kilang LNG Bontang dengan kapasitas 21,64 mtpa dan Kilang LNG Tangguh yang berkapasitas 7,6 mtpa.

Terpisah, Wakil Direktur ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengingatkan pemerintah untuk segera mempersiapkan infrastruktur untuk dapat memaksimalkan pemanfaatan gas bagi keperluan domestik. Dalam lima tahun mendatang, produksi gas akan didominasi dari wilayah Indonesia Timur.

“Infrastruktur masih menjadi masalah karena produksi gas, 75 persen berasal dari Indonesia timur. Sementara konsumen banyak di Indonesia barat,” kata dia.

Pemerintah, menurut Komaidi, punya dua alternatif untuk memaksimalkan pemanfaatan gas. Selain membangun unit regastifikasi, pemerintah bisa membangun infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan industri yang membutuhkan gas di Indonesia timur. “Jadi jika industri di wilayah Timur berkembang, gas yang dihasilkan bisa dipakai di sana,” ujarnya.

Jika pemerintah gagal membangun infrastruktur gas yang memadai, kemungkinan besar produksi gas yang dihasilkan harus diekspor ke luar negeri. Komaidi memperkirakan 82 persen gas Indonesia terpaksa di ekspor karena keterbatasan infrastruktur.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6217 seconds (0.1#10.140)