DPR desak pemerintah tinjau ulang PMK cukai rokok

Rabu, 28 Agustus 2013 - 14:49 WIB
DPR desak pemerintah tinjau ulang PMK cukai rokok
DPR desak pemerintah tinjau ulang PMK cukai rokok
A A A
Sindonews.com - Anggota Komisi IX DPR Poempida Hidayatulloh meminta pemerintah untuk meninjau ulang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur cukai rokok pada industri nasional tembakau.

“Seharusnya aspek ekonomi-sosial dijadikan pertimbangan dasar oleh pemerintah dalam membuat sebuah regulasi,” kata Poempida di Gedung DPR, Rabu (28/8/2013).

Dia menjelaskan, dalam Nota Keuangan serta Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 2014 disebutkan, salah satu sumber pendapatan cukai pada APBN 2013 berasal dari produksi hasil cukai tembakau, serta kebijakan penetapan golongan dan tarif cukai hasil tembakau terhadap pengusaha pabrik hasil tembakau, sebagaimana diatur dalam PMK No 78/PMK.011/2013.

Peraturan ini, lanjut Poempida, tujuan utamanya untuk menaikkan cukai tembakau yang mengarah pada 'single tarif' antara perusahaan kecil dengan perusahaan besar pada tingkat tarif tertinggi.

Menurut Poempida, rokok kretek secara signifikan termasuk 25 kontributor terbesar 50 persen inflasi yang terjadi di Indonesia. “Rokok kretek filter menduduki peringkat ke-5 setelah beras (7,98 persen), bahan bakar rumah (4,26 persen), emas (3,76 persen), dan nasi (3,13 persen),” terang Poempida.

Dia menuturkan, rokok kretek filter memberikan kontribusi sebesar 3,08 persen terhadap laju inflasi. Sementara rokok kretek gulung berada di peringkat 16 sebesar 1,44 persen, dan rokok putih berada di peringkat 34 sebesar 0 persen. “Hal ini diakibatkan adanya peningkatan bea cukai rokok,” katanya.

Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan, saat ini industri kretek nasional menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Kontribusi untuk APBN pun sangat tinggi, sampai puluhan triliun. Menurutnya, ada puluhan juta orang yang bergantung pada industri rokok. Mulai dari pengusaha besar, menengah dan kecil, petani, pengecer, bahkan konsumen.

Dari sektor tenaga kerja, secara keseluruhan industri tembakau menyerap tenaga kerja sekitar 41,54 juta. Di mana 93,77 persen diserap kegiatan usaha tani termasuk pasca-panen, sedangkan tenaga kerja di sektor pengolahan rokok hanya menyerap sekitar 6,23 persen.

Lebih rincinya 1,25 juta orang telah menggantungkan hidupnya bekerja di ladang cengkeh dan tembakau, 10 juta orang terlibat langsung dalam industri rokok, dan 24,4 juta orang terlibat secara tidak langsung dalam industri rokok. “Kalau industri nasional kretek ini dimatikan, entah apa dampaknya,” tegasnya.

Menurut Poempida, dampak diterapkannya PMK 78/2013 ini adalah menciptakan harga cukai yang tinggi. Hal itu memang sengaja diciptakan pemerintah dalam konteks korelasi target income pendapatan pemerintah untuk APBN. Padahal, harga cukai yang tinggi kalau dilihat dampak untuk kesehatan secara statistik tidak mengurangi jumlah kebiasaan orang merokok dan tidak mempengaruhi juga guna menguranginya.

"Cukai rokok tinggi pun tidak akan berdampak dalam konteks inflasi, karena rokok bukan variabel yang sensitif dalam ekonomi pasar," ungkap Poempida.

Jika dalam pembuatan kebijakan terjadi "overheating" dalam suatu sektor, ungkap Poempida, maka kebijakan tersebut dapat menjadi boomerang, karena itu harus ditinjau ulang.

Padahal, selama ini industri nasional kretek mampu menciptakan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Karena itu, industri ini harus dilindungi. Dalam konteks ini, semata-mata mengamankan amanat visi dan misi Presiden SBY.

“Kalau memang presiden memiliki visi misi itu, pilihannya adalah industri nasional kretek harus diproteksi dengan alasan mempunyai kontribusi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,” tandas Poempida.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6812 seconds (0.1#10.140)