Jero klaim BK ekspor mineral tak rugikan industri tambang
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan kebijakan bea keluar (BK) ekspor mineral sebagai bagian dari penerapan ekspor mineral yang mulai berlaku sejak 12 Januari 2014 tidak akan membebani pengusaha pertambangan.
Menteri ESDM, Jero Wacik menuturkan, penerapan bea keluar ekspor mineral tidak akan merugikan industri tambang. Karena produk mineral yang diekspor merupakan produk mineral yang sudah diolah dengan nilai jual jauh lebih tinggi.
"Kalau nilai jualnya tinggi kemudian dikenakan bea keluar artinya tidak rugi. Mereka masih untung lebih," kata dia di sela rapat paripurna membahas rancangan peraturan kebijakan energi nasional, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (28/1/2014).
Menurutnya, implementasi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014 dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.011/2014 yang mengatur bea keluar ekspor bahan mineral merupakan instrumen pemerintah dalam menjamin indsutri tambang membangun pengolahan dan pemurnian (smelter).
Jika kemudian ada industri tambang yang mengeluh keluarnya bea ekspor mineral ini, dipersilakan bernegosiasi dengan Kementerian Keuangan karena keputusan kebijakan bea ekspor mineral, ranahnya berada di Menteri Keuangan. "Sebenarnya kalau perusahaan mau buat smelter sudah selesai urusannya," pungkas Wacik.
Sementara, Ketua Satuan Tugas Hilirisai Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Didie Suwondho mengatakan, harga jual produk olahan mineral lebih tinggi dibanding mineral mentah. Misalnya, kata dia, harga bijih nikel pig iron (NPI) mentah dengan kadar 4 persen dijual dengan harga USD29 per ton.
Namun, jika sudah diolah maka nilai jualnya menjadi USD14 ribu per ton dengan biaya produksi untuk menghasilkan NPI ini mencapai USD15 ribu per ton dengan kondisi harga yang sekarang sedang menurun. "Tapi kalau harganya normal bisa mencapai USD50 ribu dengan ditimpa bea keluar 25 persen maka mereka enggak dapat untung," katanya.
Menurutnya, Kadin dalam waktu dekat akan bertandang ke Kementerian Keuangan membicarakan kebijakan ini. "Rata-rata keuntungan atau profit before tax sebesar 10-15 persen apabila bea keluar ditetapkan 20-25 persen maka tidak ada untungnya. Bagaimana mau bangun smelter," kata dia.
Dia menjelaskan pembangunan smleter butuh biaya yang tidak sedikit hingga USD300 juta. Padahal pemegang izin usaha pertambangan (IUP) ada yang kemampuan investasinya hanya USD5 juta. "Jika kemudian disuruh membangun smelter dengan investasi USD300 juta enggak ada duitnya. Tapi kalau hanya bea keluar ekspor maka masih untung," kata dia.
Menteri ESDM, Jero Wacik menuturkan, penerapan bea keluar ekspor mineral tidak akan merugikan industri tambang. Karena produk mineral yang diekspor merupakan produk mineral yang sudah diolah dengan nilai jual jauh lebih tinggi.
"Kalau nilai jualnya tinggi kemudian dikenakan bea keluar artinya tidak rugi. Mereka masih untung lebih," kata dia di sela rapat paripurna membahas rancangan peraturan kebijakan energi nasional, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (28/1/2014).
Menurutnya, implementasi UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014 dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.011/2014 yang mengatur bea keluar ekspor bahan mineral merupakan instrumen pemerintah dalam menjamin indsutri tambang membangun pengolahan dan pemurnian (smelter).
Jika kemudian ada industri tambang yang mengeluh keluarnya bea ekspor mineral ini, dipersilakan bernegosiasi dengan Kementerian Keuangan karena keputusan kebijakan bea ekspor mineral, ranahnya berada di Menteri Keuangan. "Sebenarnya kalau perusahaan mau buat smelter sudah selesai urusannya," pungkas Wacik.
Sementara, Ketua Satuan Tugas Hilirisai Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Didie Suwondho mengatakan, harga jual produk olahan mineral lebih tinggi dibanding mineral mentah. Misalnya, kata dia, harga bijih nikel pig iron (NPI) mentah dengan kadar 4 persen dijual dengan harga USD29 per ton.
Namun, jika sudah diolah maka nilai jualnya menjadi USD14 ribu per ton dengan biaya produksi untuk menghasilkan NPI ini mencapai USD15 ribu per ton dengan kondisi harga yang sekarang sedang menurun. "Tapi kalau harganya normal bisa mencapai USD50 ribu dengan ditimpa bea keluar 25 persen maka mereka enggak dapat untung," katanya.
Menurutnya, Kadin dalam waktu dekat akan bertandang ke Kementerian Keuangan membicarakan kebijakan ini. "Rata-rata keuntungan atau profit before tax sebesar 10-15 persen apabila bea keluar ditetapkan 20-25 persen maka tidak ada untungnya. Bagaimana mau bangun smelter," kata dia.
Dia menjelaskan pembangunan smleter butuh biaya yang tidak sedikit hingga USD300 juta. Padahal pemegang izin usaha pertambangan (IUP) ada yang kemampuan investasinya hanya USD5 juta. "Jika kemudian disuruh membangun smelter dengan investasi USD300 juta enggak ada duitnya. Tapi kalau hanya bea keluar ekspor maka masih untung," kata dia.
(izz)