Pengusaha keberatan perda minerba di Aceh
A
A
A
Sindonews.com - Keputusan Pemerintah Provinsi Aceh menerbitkan rancangan qanun atau peraturan daerah (perda) tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) terus menuai kritik.
Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) menilai, qanun justru akan membuat Aceh tak menarik lagi bagi investor pertambangan. Selain kontraproduktif terhadap upaya menarik investor, qanun juga bertabrakan dengan UU No 4/2009 tentang Minerba yang mengatur soal besaran royalti.
"Ini jelas sangat memberatkan pertambangan mineral dan batu bara. Pasalnya belum lagi menyusul rencana pemerintah pusat yang akan menaikkan royalti pertambangan," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Supriyatna Suhala dalam rilisnya, Senin (10/2/2014).
Dia menjelaskan, situasi bagi pengusaha bakal bertambah berat karena Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga berencana menaikkan royalti.
"Kalau pusat naik daerah juga mau menaikkan, berapa persen itu totalnya, jelas sangat memberatkan," ujarnya.
Apalagi, kata Supriyatna, batu bara di Aceh kualitas dan kadar kalorinya rendah dengan harga yang tidak begitu tinggi, di kisaran USD30 hingga USD40. Pasarnya juga tidak kompetitif karena cuma ke India. Karena itu, dengan dibebani berbagai macam pungutan jelas membuat gerak bisnis pengusaha makin susah.
"Kalau kedua-duanya diterapkan, royalti pusat naik dan ada perda, saya kira enggak akan ada pengusaha yang bisa hidup," jelasnya.
Pengusaha, kata dia, sudah mengeluh karena tidak mungkin bisa survive dengan beragam regulasi yang memberatkan. Hitungan Pemerintah Aceh bahwa pengusaha menikmati keuntungan menambang batu bara hingga 95 persen juga dinilai sebagai hitungan yang tak jelas dasarnya.
Dalam bisnis pertambangan, untuk biaya pengupasan tanah (prastriping) hingga biaya memasukkan batu bara ke kapal mencapai USD27,5. Kalau kemudian ditambah biaya royalti sebesar 5 persen atau sebesar USD1,35 per ton plus biaya kompensasi sebesar 5 persen dan biaya community development sebesar 2 persen.
Berdasarkan hitungan tersebut, biaya produksi per ton batu bara kalori 5100 bisa mencapai lebih USD30. "Dengan hitungan ini, apa yang didapat pengusaha," ucapnya.
Itulah sebabnya, pengamat pertambangan Simon F Sembiring dan Marwan Batubara kompak mengingatkan pemerintah pusat, untuk tidak gegabah menyutujui qanun tersebut. Jangan sampai qanun ini menjadi preseden buruk dalam bisnis pertambangan mineral dan batubara.
Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) menilai, qanun justru akan membuat Aceh tak menarik lagi bagi investor pertambangan. Selain kontraproduktif terhadap upaya menarik investor, qanun juga bertabrakan dengan UU No 4/2009 tentang Minerba yang mengatur soal besaran royalti.
"Ini jelas sangat memberatkan pertambangan mineral dan batu bara. Pasalnya belum lagi menyusul rencana pemerintah pusat yang akan menaikkan royalti pertambangan," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Supriyatna Suhala dalam rilisnya, Senin (10/2/2014).
Dia menjelaskan, situasi bagi pengusaha bakal bertambah berat karena Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga berencana menaikkan royalti.
"Kalau pusat naik daerah juga mau menaikkan, berapa persen itu totalnya, jelas sangat memberatkan," ujarnya.
Apalagi, kata Supriyatna, batu bara di Aceh kualitas dan kadar kalorinya rendah dengan harga yang tidak begitu tinggi, di kisaran USD30 hingga USD40. Pasarnya juga tidak kompetitif karena cuma ke India. Karena itu, dengan dibebani berbagai macam pungutan jelas membuat gerak bisnis pengusaha makin susah.
"Kalau kedua-duanya diterapkan, royalti pusat naik dan ada perda, saya kira enggak akan ada pengusaha yang bisa hidup," jelasnya.
Pengusaha, kata dia, sudah mengeluh karena tidak mungkin bisa survive dengan beragam regulasi yang memberatkan. Hitungan Pemerintah Aceh bahwa pengusaha menikmati keuntungan menambang batu bara hingga 95 persen juga dinilai sebagai hitungan yang tak jelas dasarnya.
Dalam bisnis pertambangan, untuk biaya pengupasan tanah (prastriping) hingga biaya memasukkan batu bara ke kapal mencapai USD27,5. Kalau kemudian ditambah biaya royalti sebesar 5 persen atau sebesar USD1,35 per ton plus biaya kompensasi sebesar 5 persen dan biaya community development sebesar 2 persen.
Berdasarkan hitungan tersebut, biaya produksi per ton batu bara kalori 5100 bisa mencapai lebih USD30. "Dengan hitungan ini, apa yang didapat pengusaha," ucapnya.
Itulah sebabnya, pengamat pertambangan Simon F Sembiring dan Marwan Batubara kompak mengingatkan pemerintah pusat, untuk tidak gegabah menyutujui qanun tersebut. Jangan sampai qanun ini menjadi preseden buruk dalam bisnis pertambangan mineral dan batubara.
(izz)