Target Ambisi Besar Kebijakan Transisi Energi Butuh Upaya Besar
Kamis, 04 Mei 2023 - 17:05 WIB
Rencana transisi energi Indonesia juga masih dipenuhi dengan ambiguitas. Dalam RUPTL yang diterbitkan pada tahun 2021 dan disebut sebagai “RUPTL hijau”, dari usulan 40,6 GW yang teridentifikasi untuk memenuhi permintaan listrik di masa
mendatang, 50% di antaranya masih menggunakan bahan bakar fosil.
Meski Presiden Jokowi menekankan bahwa Ia akan “melarang dan membatalkan” PLTU baru kecuali mereka telah mendapatkan persetujuan keuangan atau sedang dalam tahap konstruksi, beberapa pembangkit listrik dengan status PPA (Power Purchase Agreement) dan tanggal operasi komersial (COD) pada tahun 2024 atau lebih tidak dibatalkan dalam RUPTL 2021-2030.
Namun di sisi lain ada percepatan proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan megaproyek 35 GW. Dari megaproyek 35 GW itu, 70% di antaranya merupakan usulan pembangkit batubara, termasuk PLTU yang belum mendapat persetujuan finansial.
“Berdasarkan temuan kami, komitmen dari pemerintah Indonesia masih lemah, meskipun menggunakan teknologi ‘baru’ tapi berpotensi menjadi solusi palsu dan tak menyelesaikan masalah transisi energi di Indonesia. Solusi palsu ini mencakup co-firing biomassa yang berpotensi mendorong deforestasi dan sedang ditentang statusnya sebagai energi netral karbon di panggung internasional, co-firing ammonia dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) yang belum terbukti dan berpotensi mahal, atau Clean Coal yang tetap kotor dan merusak lingkungan,” kata Jobit Parapat dari Crea.
Solusi-solusi tersebut berpotensi mengalihkan fokus dan pendanaan dari energi bersih seperti surya dan angin. Proyek co-firing ammonia, biomassa, CCUS, dan Clean Coal juga berpotensi dijadikan alasan untuk menunda penghapusan listrik batubara.
“Peralihan dari batubara ke gas berpotensi menaikan harga listrik negara menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi harga bahan bakar. Tidak seperti batubara, peningkatan pembangkitan gas fosil akan memerlukan impor atau membangun infrastruktur hulu dan tengah, sehingga akan menjadi pilihan yang mahal karena produksi baru akan membutuhkan biaya wellhead yang lebih tinggi,” ujar Andri.
Strategi lain yang digunakan adalah co-firing biomassa, tapi strategi ini tak akan memenuhi angka penurunan emisi gas rumah kaca karena porsi biomassa untuk bahan bakar hanya 1-5% dan 95% sisanya masih menggunakan batubara. Selain itu, permintaan biomassa ini menyebabkan penebangan pohon berlebihan yang justru memicu emisi tambahan dari deforestasi atau pembukaan lahan baru.
Sama halnya dengan co-firing. Strategi Clean Coal Technology (CCT) yang didorong oleh pemerintah Indonesia tidak menjamin berkurangnya emisi. PLTU dengan CCT masih memancarkan CO2 dan polutan beracun seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan particular matter (PM).
Asosiasi Batubara Dunia (World Coal Association) memperkirakan perlu USD31 miliar untuk meningkatkan PLTU 400 GW dengan teknologi terbaik, tapi ini hanyalah sebagian kecil dari dampak kesehatan dan ekonomi yang dihasilkan oleh polusi pembangkit sepanjang masa investasi energi bersih sebesar USD2,4 triliun.
mendatang, 50% di antaranya masih menggunakan bahan bakar fosil.
Meski Presiden Jokowi menekankan bahwa Ia akan “melarang dan membatalkan” PLTU baru kecuali mereka telah mendapatkan persetujuan keuangan atau sedang dalam tahap konstruksi, beberapa pembangkit listrik dengan status PPA (Power Purchase Agreement) dan tanggal operasi komersial (COD) pada tahun 2024 atau lebih tidak dibatalkan dalam RUPTL 2021-2030.
Namun di sisi lain ada percepatan proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan megaproyek 35 GW. Dari megaproyek 35 GW itu, 70% di antaranya merupakan usulan pembangkit batubara, termasuk PLTU yang belum mendapat persetujuan finansial.
“Berdasarkan temuan kami, komitmen dari pemerintah Indonesia masih lemah, meskipun menggunakan teknologi ‘baru’ tapi berpotensi menjadi solusi palsu dan tak menyelesaikan masalah transisi energi di Indonesia. Solusi palsu ini mencakup co-firing biomassa yang berpotensi mendorong deforestasi dan sedang ditentang statusnya sebagai energi netral karbon di panggung internasional, co-firing ammonia dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) yang belum terbukti dan berpotensi mahal, atau Clean Coal yang tetap kotor dan merusak lingkungan,” kata Jobit Parapat dari Crea.
Solusi-solusi tersebut berpotensi mengalihkan fokus dan pendanaan dari energi bersih seperti surya dan angin. Proyek co-firing ammonia, biomassa, CCUS, dan Clean Coal juga berpotensi dijadikan alasan untuk menunda penghapusan listrik batubara.
“Peralihan dari batubara ke gas berpotensi menaikan harga listrik negara menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi harga bahan bakar. Tidak seperti batubara, peningkatan pembangkitan gas fosil akan memerlukan impor atau membangun infrastruktur hulu dan tengah, sehingga akan menjadi pilihan yang mahal karena produksi baru akan membutuhkan biaya wellhead yang lebih tinggi,” ujar Andri.
Strategi lain yang digunakan adalah co-firing biomassa, tapi strategi ini tak akan memenuhi angka penurunan emisi gas rumah kaca karena porsi biomassa untuk bahan bakar hanya 1-5% dan 95% sisanya masih menggunakan batubara. Selain itu, permintaan biomassa ini menyebabkan penebangan pohon berlebihan yang justru memicu emisi tambahan dari deforestasi atau pembukaan lahan baru.
Sama halnya dengan co-firing. Strategi Clean Coal Technology (CCT) yang didorong oleh pemerintah Indonesia tidak menjamin berkurangnya emisi. PLTU dengan CCT masih memancarkan CO2 dan polutan beracun seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan particular matter (PM).
Asosiasi Batubara Dunia (World Coal Association) memperkirakan perlu USD31 miliar untuk meningkatkan PLTU 400 GW dengan teknologi terbaik, tapi ini hanyalah sebagian kecil dari dampak kesehatan dan ekonomi yang dihasilkan oleh polusi pembangkit sepanjang masa investasi energi bersih sebesar USD2,4 triliun.
tulis komentar anda