Ekonomi China Mungkin Tidak Akan Pernah Melampaui Ekonomi Amerika
Kamis, 24 Agustus 2023 - 18:24 WIB
Jepang, setidaknya, telah menjadi negara kaya saat itu. China masih belum, dan mungkin tidak akan pernah bergabung dengan jajaran yang disebut ekonomi maju.
China menghadapi banyak masalah struktural dan siklus, termasuk populasi yang menurun, dimana mereka berpotensi disalip India sebagai negara terpadat di dunia pada tahun ini atau tahun depan.
China dinilai terlalu bergantung pada proyek-proyek real estat berbahan bakar utang untuk menggerakkan pertumbuhannya, yang kini telah memicu keruntuhan real estat. Beberapa orang menyamakan apa yang terjadi di China saat ini sama dengan "momen Lehman Brothers".
Sementara itu angka pengangguran usia muda di antara usia 16 hingga 24 tahun di China secara resmi meningkat dari 11% pada 2018 menjadi 21%. Bahkan menurut Eurasia Group, Tingkat pengangguran kaum muda yang sebenarnya mungkin setinggi 46%.
Pemerintah China telah berupaya untuk merangsang ekonomi agar keluar dari perlambatan selama 25 tahun terakhir, yang terbaru lewat penurunan suku bunga dan beberapa langkah lainnya. Namun apa yang dilakukan pemerintah, belum cukup bagi investor yang merasa kecewa hingga memicu aksi jual saham.
Perlambatan bisa kronis. "Mengingat berapa lama kita akan bertahan dengan perjuangan ekonomi China, investor akan memiliki banyak waktu untuk mempercepat," saran Capital Economics dalam laporan 21 Agustus, lalu.
Stagnasi ekonomi China dapat memiliki efek tak terduga pada investor global, pembuat kebijakan Amerika, dan bahkan pemilihan pemimpin AS.
Ketika Donald Trump pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2016, ia mengeluh bahwa China "makan siang kami," mengutip rekor defisit perdagangan AS yang tinggi dengan China. Sebagai presiden, Trump memberlakukan tarif pada ratusan miliar dolar ekspor China ke Amerika Serikat, berharap dapat memicu lebih banyak manufaktur AS dan mengurangi ketergantungan AS pada China.
Perang dagang Trump dengan China, kemudian memicu peningkatan biaya pada mayoritas importir AS – termasuk konsumen –, disaat yang sama gagal mencapai tujuan.
Namun Joe Biden tetap mempertahankan tarif tersebut, setelah ia menjadi presiden pada tahun 2021. Dan Biden telah melangkah lebih jauh.
China menghadapi banyak masalah struktural dan siklus, termasuk populasi yang menurun, dimana mereka berpotensi disalip India sebagai negara terpadat di dunia pada tahun ini atau tahun depan.
China dinilai terlalu bergantung pada proyek-proyek real estat berbahan bakar utang untuk menggerakkan pertumbuhannya, yang kini telah memicu keruntuhan real estat. Beberapa orang menyamakan apa yang terjadi di China saat ini sama dengan "momen Lehman Brothers".
Sementara itu angka pengangguran usia muda di antara usia 16 hingga 24 tahun di China secara resmi meningkat dari 11% pada 2018 menjadi 21%. Bahkan menurut Eurasia Group, Tingkat pengangguran kaum muda yang sebenarnya mungkin setinggi 46%.
Pemerintah China telah berupaya untuk merangsang ekonomi agar keluar dari perlambatan selama 25 tahun terakhir, yang terbaru lewat penurunan suku bunga dan beberapa langkah lainnya. Namun apa yang dilakukan pemerintah, belum cukup bagi investor yang merasa kecewa hingga memicu aksi jual saham.
Perlambatan bisa kronis. "Mengingat berapa lama kita akan bertahan dengan perjuangan ekonomi China, investor akan memiliki banyak waktu untuk mempercepat," saran Capital Economics dalam laporan 21 Agustus, lalu.
Stagnasi ekonomi China dapat memiliki efek tak terduga pada investor global, pembuat kebijakan Amerika, dan bahkan pemilihan pemimpin AS.
Ketika Donald Trump pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2016, ia mengeluh bahwa China "makan siang kami," mengutip rekor defisit perdagangan AS yang tinggi dengan China. Sebagai presiden, Trump memberlakukan tarif pada ratusan miliar dolar ekspor China ke Amerika Serikat, berharap dapat memicu lebih banyak manufaktur AS dan mengurangi ketergantungan AS pada China.
Perang dagang Trump dengan China, kemudian memicu peningkatan biaya pada mayoritas importir AS – termasuk konsumen –, disaat yang sama gagal mencapai tujuan.
Namun Joe Biden tetap mempertahankan tarif tersebut, setelah ia menjadi presiden pada tahun 2021. Dan Biden telah melangkah lebih jauh.
Lihat Juga :
tulis komentar anda