Ekonomi China Mungkin Tidak Akan Pernah Melampaui Ekonomi Amerika

Kamis, 24 Agustus 2023 - 18:24 WIB
loading...
Ekonomi China Mungkin Tidak Akan Pernah Melampaui Ekonomi Amerika
Ekonomi China memang booming, dan dengan populasi lebih dari 1 miliar orang, pada akhirnya memastikan mereka bakal menjadi pasar terbesar di dunia. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Pada tahun 1997, ekonom di Dana Moneter Internasional atau IMF menunjukkan bahwa ekonomi China tumbuh begitu cepat sehingga diprediksi bisa lebih besar dari ekonomi AS (Amerika Serikat) pada tahun 2017. Namun hal itu tidak terjadi.



Ekonomi China memang booming, dan dengan populasi lebih dari 1 miliar orang, pada akhirnya memastikan mereka bakal menjadi pasar terbesar di dunia. Pada tahun 2010, Goldman Sachs memperkirakan bahwa ekonomi China dapat menyalip Amerika sebagai yang terbesar di dunia pada tahun 2030.

The Economist lebih berani lagi, saat memprediksi China akan menjadi ekonomi terbesar di dunia pada 2019. Pergeseran tersebut diyakini akan terjadi, dimana menandakan bahwa negara adidaya ekonomi baru siap menantang pengaruh AS di di dunia.



Namun saat ini sepertinya hari itu, mungkin tidak akan pernah datang. Ekonomi China telah tergelincir dengan cara yang menunjukkan 25 tahun pertumbuhan supercharged mungkin akan berakhir, jauh sebelum China mencapai status negara adidaya ekonomi.

Ekonomi China tidak pernah keluar dari pandemi Covid, seperti yang dilakukan ekonomi AS dan saat ini hampir tidak tumbuh. Alih-alih mengagumi keajaiban kemakmuran China, para ekonom justru mewaspadai kejatuhan ekonomi China yang berpotensi bisa menyeret ekonomi global.

Desmond Lachman dari American Enterprise Institute baru-baru ini mengatakan kepada Reuters bahwa ekonomi China tidak mungkin melampaui Amerika Serikat dalam 20 tahun ke depan.

Sedangkan Ekonom Paul Krugman, yang juga seorang kolumnis New York Times, menyamakan China dengan Jepang pada awal 1990-an. Saat itulah pertumbuhan yang tak terkendali terhenti dan kekhawatiran tentang dominasi negara Asia di dunia terbukti sangat tidak berdasar.

Jepang, setidaknya, telah menjadi negara kaya saat itu. China masih belum, dan mungkin tidak akan pernah bergabung dengan jajaran yang disebut ekonomi maju.

China menghadapi banyak masalah struktural dan siklus, termasuk populasi yang menurun, dimana mereka berpotensi disalip India sebagai negara terpadat di dunia pada tahun ini atau tahun depan.

China dinilai terlalu bergantung pada proyek-proyek real estat berbahan bakar utang untuk menggerakkan pertumbuhannya, yang kini telah memicu keruntuhan real estat. Beberapa orang menyamakan apa yang terjadi di China saat ini sama dengan "momen Lehman Brothers".

Sementara itu angka pengangguran usia muda di antara usia 16 hingga 24 tahun di China secara resmi meningkat dari 11% pada 2018 menjadi 21%. Bahkan menurut Eurasia Group, Tingkat pengangguran kaum muda yang sebenarnya mungkin setinggi 46%.

Pemerintah China telah berupaya untuk merangsang ekonomi agar keluar dari perlambatan selama 25 tahun terakhir, yang terbaru lewat penurunan suku bunga dan beberapa langkah lainnya. Namun apa yang dilakukan pemerintah, belum cukup bagi investor yang merasa kecewa hingga memicu aksi jual saham.

Perlambatan bisa kronis. "Mengingat berapa lama kita akan bertahan dengan perjuangan ekonomi China, investor akan memiliki banyak waktu untuk mempercepat," saran Capital Economics dalam laporan 21 Agustus, lalu.

Stagnasi ekonomi China dapat memiliki efek tak terduga pada investor global, pembuat kebijakan Amerika, dan bahkan pemilihan pemimpin AS.

Ketika Donald Trump pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2016, ia mengeluh bahwa China "makan siang kami," mengutip rekor defisit perdagangan AS yang tinggi dengan China. Sebagai presiden, Trump memberlakukan tarif pada ratusan miliar dolar ekspor China ke Amerika Serikat, berharap dapat memicu lebih banyak manufaktur AS dan mengurangi ketergantungan AS pada China.

Perang dagang Trump dengan China, kemudian memicu peningkatan biaya pada mayoritas importir AS – termasuk konsumen –, disaat yang sama gagal mencapai tujuan.

Namun Joe Biden tetap mempertahankan tarif tersebut, setelah ia menjadi presiden pada tahun 2021. Dan Biden telah melangkah lebih jauh.

Pengawasan ekspor baru melarang penjualan teknologi AS tertentu ke China, untuk menghambat produksi senjata militer canggih. RUU yang ditandatangani Biden untuk mempromosikan manufaktur semikonduktor AS dan teknologi energi hijau, tampaknya mengalihkan beberapa investasi dari China kembali ke Amerika Serikat.

Aliansi trilateral yang berkembang antara Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan sebagian merupakan benteng ekonomi melawan pengaruh China di Asia. Sementara itu China di bawah Presiden Xi Jinping semakin menjadi ancaman militan bagi tetangga, termasuk Taiwan, dan antagonis demokrasi Barat.

Pada awal 2000-an, tidak lama setelah China bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia dan memulai ledakan ekspornya, banyak analis Barat berasumsi bahwa pemerintah komunis China akan menjadi lebih demokratis dan ramah karena kapitalisme membuatnya lebih kaya. Tapi itu belum terjadi.

Xi, misalnya, secara teratur berjanji untuk "menyatukan kembali" China dengan Taiwan. Ketika koalisi negara-negara pimpinan AS memberikan sanksi kepada Rusia atas perang di Ukraina, China telah menjadi sekutu terpenting Moskow.

Mereka memang belum menyediakan peralatan militer yang sangat dibutuhkan Rusia, tetapi sekarang menjadi pelanggan energi terbesar Rusia dan menyediakan banyak produk yang sulit didapat Rusia di tempat lain karena sanksi.

China belum sepenuhnya memudar, mereka akan tetap menjadi produsen terbesar di dunia untuk waktu yang lama. Tetapi China juga memiliki banyak masalah domestik dan mempunyai pesaing di panggung dunia. Sebaliknya, ekonomi AS tetap dinamis dan tangguh. Sepertinya dominasi Amerika belum berakhir!.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1775 seconds (0.1#10.140)