Takut Resesi, Tambahan Gaji dari Pemerintah Belum Tentu Dongkrak Konsumsi
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 14:14 WIB
JAKARTA - Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Muhamad Rifki Fadilah mengapresiasi Program Tambahan Gaji untuk pekerja non-PNS dan BUMN yang akan diberikan pemerintah sebesar Rp600.000.
Namun, ia mengingatkan pemerintah bahwa tambahan gaji tersebut belum tentu mendongkrak konsumsi karena akan terjadi perubahan perilaku dari masyarakat.
(Baca Juga: Filipina Resmi Masuk Jurang Resesi, RI Tinggal Tunggu Waktu Nih!)
"Saat ini masyarakat cemas dengan keadaan ekonomi ke depan, terlebih adanya sentimen dan pemberitaan negara-negara yang mengalami resesi . Implikasinya, masyarakat akan menahan konsumsinya dan lebih memilih untuk menabung," kata Rifki, di Jakarta, Jumat (7/8/2020).
Rifki mencontohkan fenomena menarik di Swedia yang menerapkan skenario santai (relax) dalam menghadapi pandemi dan pembatasan wilayah (lockdown) dan Denmark yang menerapkan skenario ketat (strict). Meski berbeda strategi, keduanya memiliki kesamaan, yakni masyarakatnya menghabiskan uang yang lebih sedikit. "Artinya, saat ini behaviour masyarakat berubah untuk menjadi spend less money," ujar Rifki.
(Baca Juga: Bersiap Menghadapi Resesi)
Kondisi tersebut menurut dia juga terjadi di Indonesia. Kekhawatiran masyarakat itu menurutnya akan membuat permintaan (demand) terhadap barang dan jasa juga ikut turun.
Namun, ia mengingatkan pemerintah bahwa tambahan gaji tersebut belum tentu mendongkrak konsumsi karena akan terjadi perubahan perilaku dari masyarakat.
(Baca Juga: Filipina Resmi Masuk Jurang Resesi, RI Tinggal Tunggu Waktu Nih!)
"Saat ini masyarakat cemas dengan keadaan ekonomi ke depan, terlebih adanya sentimen dan pemberitaan negara-negara yang mengalami resesi . Implikasinya, masyarakat akan menahan konsumsinya dan lebih memilih untuk menabung," kata Rifki, di Jakarta, Jumat (7/8/2020).
Rifki mencontohkan fenomena menarik di Swedia yang menerapkan skenario santai (relax) dalam menghadapi pandemi dan pembatasan wilayah (lockdown) dan Denmark yang menerapkan skenario ketat (strict). Meski berbeda strategi, keduanya memiliki kesamaan, yakni masyarakatnya menghabiskan uang yang lebih sedikit. "Artinya, saat ini behaviour masyarakat berubah untuk menjadi spend less money," ujar Rifki.
(Baca Juga: Bersiap Menghadapi Resesi)
Kondisi tersebut menurut dia juga terjadi di Indonesia. Kekhawatiran masyarakat itu menurutnya akan membuat permintaan (demand) terhadap barang dan jasa juga ikut turun.
(fai)
tulis komentar anda