Utang Jatuh Tempo RI Tembus Rp3.749 T, Indef: Negara Bisa Stroke
Kamis, 04 Juli 2024 - 13:30 WIB
JAKARTA - Utang pemerintah menyentuh Rp8.353 triliun naik Rp14,59 triliun dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang berada di kisaran Rp8.338 triliun. Adapun nilai utang jatuh tempo pemerintah mencapai Rp3.749 triliun untuk periode 2025-2029.
Pada 2025, utang jatuh tempo yang harus dibayarkan berada di level Rp800 triliun. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per 30 April 2024 mencatat utang jatuh tempo pemerintah di tahun depan naik signifikan, dibandingkan tahun ini yang berada di posisi Rp 434,29 triliun.
Merespon nominal utang jatuh tempo tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai negara bisa mengalami stroke alias gangguan bila nilai utang tidak diimbangi dengan kapasitas fiskal atau penerimaan negara. Adapun, hingga Mei 2024 penerimaan negara mencapai Rp1.123,5 triliun. Angka ini turun 7,1 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan periode yang sama 2023, yakni Rp1.209 triliun.
"Memang kita itu punya warisan utang yang luar biasa ya, sampai Mei 2024 itu kita punya utang Rp 8.300-an triliun ya, terus kemudian jatuh tempo pada tahun 2025-2029 itu sekitar Rp 3.749 triliun," ujar Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, saat sesi diskusi ‘Warisan Utang Untuk Pemerintahan Mendatang’, Kamis (4/7/2024).
"Kalau itu tidak diimbangi dengan kapasitas penerimaan negara yang semakin meningkat, maka saya tidak terbayang, apakah negara ini akan mengalami stroke yang ketiga? Semoga tidak," paparnya.
Baca Juga: Terjebak Utang Negara-negara Barat, Ukraina Terancam Bangkrut
Esther memandang, pemerintahan baru yang bakal dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka perlu mengambil langkah alternatif. Salah satunya, memprioritaskan program yang mempunyai multiplier effect (efek berganda) yang lebih luas. Alternatif ini pandang perlu lantaran banyak program menelan anggaran bernilai fantastis, yang justru membebani kemampuan fiskal atau APBN itu sendiri.
"Paling tidak prioritas program dari pemerintahan mendatang, jadi pilih program yang benar-benar memang multiplier effect-nya itu luas, dampak jangka panjang itu ada," katanya.
Dia mencontohkan tiga program yang bisa jadi fokus pemerintah baru. Di antaranya, penguatan sumber daya manusia (SDM), peningkatan modal, dan transfer teknologi. "Dan negara-negara yang sudah maju hanya tiga itu syaratnya. Nah, untuk detail-nya seperti apa? Nanti dibahas dalam diskusi publik ini, maka saya hanya membuka diskusi ini," tutur Esther.
Pada 2025, utang jatuh tempo yang harus dibayarkan berada di level Rp800 triliun. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per 30 April 2024 mencatat utang jatuh tempo pemerintah di tahun depan naik signifikan, dibandingkan tahun ini yang berada di posisi Rp 434,29 triliun.
Merespon nominal utang jatuh tempo tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai negara bisa mengalami stroke alias gangguan bila nilai utang tidak diimbangi dengan kapasitas fiskal atau penerimaan negara. Adapun, hingga Mei 2024 penerimaan negara mencapai Rp1.123,5 triliun. Angka ini turun 7,1 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan periode yang sama 2023, yakni Rp1.209 triliun.
"Memang kita itu punya warisan utang yang luar biasa ya, sampai Mei 2024 itu kita punya utang Rp 8.300-an triliun ya, terus kemudian jatuh tempo pada tahun 2025-2029 itu sekitar Rp 3.749 triliun," ujar Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, saat sesi diskusi ‘Warisan Utang Untuk Pemerintahan Mendatang’, Kamis (4/7/2024).
"Kalau itu tidak diimbangi dengan kapasitas penerimaan negara yang semakin meningkat, maka saya tidak terbayang, apakah negara ini akan mengalami stroke yang ketiga? Semoga tidak," paparnya.
Baca Juga: Terjebak Utang Negara-negara Barat, Ukraina Terancam Bangkrut
Esther memandang, pemerintahan baru yang bakal dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka perlu mengambil langkah alternatif. Salah satunya, memprioritaskan program yang mempunyai multiplier effect (efek berganda) yang lebih luas. Alternatif ini pandang perlu lantaran banyak program menelan anggaran bernilai fantastis, yang justru membebani kemampuan fiskal atau APBN itu sendiri.
"Paling tidak prioritas program dari pemerintahan mendatang, jadi pilih program yang benar-benar memang multiplier effect-nya itu luas, dampak jangka panjang itu ada," katanya.
Dia mencontohkan tiga program yang bisa jadi fokus pemerintah baru. Di antaranya, penguatan sumber daya manusia (SDM), peningkatan modal, dan transfer teknologi. "Dan negara-negara yang sudah maju hanya tiga itu syaratnya. Nah, untuk detail-nya seperti apa? Nanti dibahas dalam diskusi publik ini, maka saya hanya membuka diskusi ini," tutur Esther.
(nng)
tulis komentar anda