Malaysia Gabung BRICS, RI harus Ikut? Ini Kata Ekonom
Rabu, 31 Juli 2024 - 15:42 WIB
"OECD itu diisi oleh negara-negara maju yang lebih well-established. Kalau kita (Indonesia) bergabung ke OECD, kita akan mengikuti aturan main dari negara-negara maju sehingga bisa mendorong kita lebih baik," ungkap Piter kepada Sindonews, Rabu (31/7/2024)
Piter melihat Indonesia cukup hanya bergabung dengan OECD dibandingkan dengan BRICS. Diketahui, BRICS merupakan negara berkembang yang yang dibentuk pada 2006 mampu mendorong perubahan paradigma dalam struktur kekuasaan global dari hierarki kekuasaan tradisional dan mengantarkan era baru multipolaritas di panggung dunia.
"Kita tidak perlu sebenarnya masuk ke organisasi BRICS, tapi jangan pula menjadi musuhnya. Kita harus menjalin hubungan baik sebagai kawan dengan BRICS. Jadi tidak perlu masuk bergabung dengannya, cukup berkawan saja," jelas Piter.
Lebih lanjut, Ia menilai, menjalin hubungan baik dengan negara-negara BRICS lantaran Indonesia sudah membangun hubungan partner dagang dengan negara anggotanya. Namun demikian, jika bergabung dengan BRICS, Piter menilai justru akan membahayakan Indonesia.
"BRICS ini kan kumpulan negara yang tengah mencoba untuk established di perekonomian global. Posisinya pun cenderung oposisi dengan negara-negara maju semisal Rusia, Tiongkok," tutur Piter.
Senada dengan Piter, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia belum urgen bergabung ke BRICS karena beberapa alasan. Pertama, hubungan dagang dan investasi Indonesia dengan China sudah sangat erat.
Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan Indonesia justru mempererat hubungan dagang dan investasi dengan negara maju.
"Tanpa bergabung ke BRICS, Indonesia tetap akan dilirik sebagai mitra strategis ekonomi politik China. Jadi OECD lebih cocok dibanding BRICS," kata Bhima
Kedua, sudah banyak perjanjian kerjasama dagang dan keuangan antara Indonesia dan China. Contohnya saja, Asean-China Free Trade Agreement, kemudian di bidang keuangan ada Local Currency Settlement antara yuan dan rupiah.
Piter melihat Indonesia cukup hanya bergabung dengan OECD dibandingkan dengan BRICS. Diketahui, BRICS merupakan negara berkembang yang yang dibentuk pada 2006 mampu mendorong perubahan paradigma dalam struktur kekuasaan global dari hierarki kekuasaan tradisional dan mengantarkan era baru multipolaritas di panggung dunia.
"Kita tidak perlu sebenarnya masuk ke organisasi BRICS, tapi jangan pula menjadi musuhnya. Kita harus menjalin hubungan baik sebagai kawan dengan BRICS. Jadi tidak perlu masuk bergabung dengannya, cukup berkawan saja," jelas Piter.
Lebih lanjut, Ia menilai, menjalin hubungan baik dengan negara-negara BRICS lantaran Indonesia sudah membangun hubungan partner dagang dengan negara anggotanya. Namun demikian, jika bergabung dengan BRICS, Piter menilai justru akan membahayakan Indonesia.
"BRICS ini kan kumpulan negara yang tengah mencoba untuk established di perekonomian global. Posisinya pun cenderung oposisi dengan negara-negara maju semisal Rusia, Tiongkok," tutur Piter.
Senada dengan Piter, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia belum urgen bergabung ke BRICS karena beberapa alasan. Pertama, hubungan dagang dan investasi Indonesia dengan China sudah sangat erat.
Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan Indonesia justru mempererat hubungan dagang dan investasi dengan negara maju.
"Tanpa bergabung ke BRICS, Indonesia tetap akan dilirik sebagai mitra strategis ekonomi politik China. Jadi OECD lebih cocok dibanding BRICS," kata Bhima
Kedua, sudah banyak perjanjian kerjasama dagang dan keuangan antara Indonesia dan China. Contohnya saja, Asean-China Free Trade Agreement, kemudian di bidang keuangan ada Local Currency Settlement antara yuan dan rupiah.
tulis komentar anda