Bisa Gerus Daya Saing, Pengusaha Sawit Ingin Penerapan Zero Odol Bertahap
Senin, 05 Agustus 2024 - 12:54 WIB
Karenanya kata Mukti, GAPKI mengusulkan agar penetapan zero ODOL ini jangan langsung dilaksanakan secara instan, tapi ada tahapan-tahapannya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Dan menurutnya, penyesuaian itu tidak hanya dilakukan di perusahaan, tapi juga untuk sentra-sentra perkebunan sawit jalannya juga bisa ditingkatkan.
“Baik kelas jalannya, kualitasnya, jembatannya dan sebagainya, sehingga bisa menampung lalu lintas produksi sawit,” katanya.
Sebab menurutnya, pemerintah juga harus melihat bahwa jika truk-truk besar pengangkut sawit itu diganti menjadi truk-truk yang lebih kecil, itu otomatis akan menambah armadanya.
“Jumlahnya kan jadi semakin banyak. Karena yang semula misalnya satu truk bisa mengangkut 20 ton, jika kemudian dibatasi menjadi hanya bisa 10 ton saja, berarti kita harus nambah dua kali lipat angkutan. Nah kalau tambah angkutan itu berarti kita harus nambah biaya beli mobil ataupun juga renovasi truk, kemudian juga biaya supir juga meningkat,” tandasnya.
Artinya lanjutnya, ada tambahan biaya produksi perusahaan. Jadi usulan GAPKI adalah bagaimana zero ODOL itu bisa dilakukan secara bertahap.
“Harapan kita adalah bahwa jangan sampai kemudian penerapan zero ODOL ini malah membuat industri itu menjadi kurang efisien. Jadi, ini yang harus sama-sama kita lakukan. Karena kalau nambah biaya produksi kan jadi nambah kan harga barangnya, dan itu jelas akan mengurangi daya saing kita dengan negara-negara lain,” katanya.
Dia mengakui sampai sekarang GAPKI sama sekali merasa belum pernah melihat roadmap dari Kemenhub terkait pelaksanaan zero ODOL ini.
“Karenanya, kita perlu duduk bareng dengan pemerintah untuk mendiskusikan, membuat semacam roadmap penyesuaian untuk sampai ke sana. Jangan sampai nanti industri sawit yang sekarang menjadi sumber pendapatan devisa terbesar, kemudian daya saingnya berkurang gara-gara misalnya zero ODOL. Itu yang kita inginkan,” ujarnya.
“Baik kelas jalannya, kualitasnya, jembatannya dan sebagainya, sehingga bisa menampung lalu lintas produksi sawit,” katanya.
Sebab menurutnya, pemerintah juga harus melihat bahwa jika truk-truk besar pengangkut sawit itu diganti menjadi truk-truk yang lebih kecil, itu otomatis akan menambah armadanya.
“Jumlahnya kan jadi semakin banyak. Karena yang semula misalnya satu truk bisa mengangkut 20 ton, jika kemudian dibatasi menjadi hanya bisa 10 ton saja, berarti kita harus nambah dua kali lipat angkutan. Nah kalau tambah angkutan itu berarti kita harus nambah biaya beli mobil ataupun juga renovasi truk, kemudian juga biaya supir juga meningkat,” tandasnya.
Artinya lanjutnya, ada tambahan biaya produksi perusahaan. Jadi usulan GAPKI adalah bagaimana zero ODOL itu bisa dilakukan secara bertahap.
“Harapan kita adalah bahwa jangan sampai kemudian penerapan zero ODOL ini malah membuat industri itu menjadi kurang efisien. Jadi, ini yang harus sama-sama kita lakukan. Karena kalau nambah biaya produksi kan jadi nambah kan harga barangnya, dan itu jelas akan mengurangi daya saing kita dengan negara-negara lain,” katanya.
Dia mengakui sampai sekarang GAPKI sama sekali merasa belum pernah melihat roadmap dari Kemenhub terkait pelaksanaan zero ODOL ini.
“Karenanya, kita perlu duduk bareng dengan pemerintah untuk mendiskusikan, membuat semacam roadmap penyesuaian untuk sampai ke sana. Jangan sampai nanti industri sawit yang sekarang menjadi sumber pendapatan devisa terbesar, kemudian daya saingnya berkurang gara-gara misalnya zero ODOL. Itu yang kita inginkan,” ujarnya.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda