Utang AS Rp565.459 Triliun, Bankir Wanti-wanti Bakal Meledak di Bawah Komando Trump
Jum'at, 15 November 2024 - 07:21 WIB
WASHINGTON - Utang nasional Amerika diperkirakan bakal meledak di bawah komando Donald Trump usai memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) lagi. Peringatan ledakan utang nasional AS disampaikan oleh para bankir top di Institute of International Finance (IIF).
Analis pada lembaga yang berbasis di Washington ini mengatakan, rencana pengurangan pajak oleh Trump tanpa pemotongan pengeluaran, pada saat yang sama bakal mendorong utang nasional AS naik dari sekitar 100% PDB saat ini menjadi lebih dari 135% dalam waktu satu dekade ke depan.
Lonjakan inflasi juga membayangi AS, karena Trump sempat menyatakan akan mengenakan tarif 10%-20% pada sebagian besar produk impor. Memasang tarif tinggi impor pada akhirnya akan berujung pada kenaikan harga barang-barang, yang kemudian bakal ditanggung konsumen.
Utang nasional AS saat ini sudah mendekati USD36 triliun atau setara Rp565.459 triliun (kurs Rp15.707 per USD) dan IIF memperingatkan utang tersebut dapat mencapai lebih dari 150% terhadap PDB jika pemotongan pajak Trump lebih besar dari yang diperkirakan.
Beberapa rencana Trump lainnya termasuk membuat upah lembur dan tip menjadi bebas pajak. Kebijakan semacam itu menurut para analis di IIF, bakal merangsang pengeluaran dan juga akan menghidupkan kembali inflasi.
Presiden terpilih Donald Trump sempat mengatakan, ingin menaikkan pajak atas barang-barang impor, membawa pendapatan tambahan untuk kas negara dan, mudah-mudahan merangsang manufaktur lokal. Namun ekonomi mengkhawatirkan, semua itu juga akan memicu inflasi dengan membuat barang-barang buatan luar negeri menjadi lebih mahal.
Tekanan harga seperti itu kemungkinan akan memaksa Federal Reserve alias the Fed untuk meninggalkan rencananya memangkas suku bunga. Dimana IIF memperkirakan, bakal membuat biaya pinjaman lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama.
"Penurunan suku bunga baru-baru ini telah menjadi bagian dari strategi Fed (bank sentral AS) untuk mendukung pertumbuhan, namun ekspansi fiskal di bawah Trump dapat memaksa Fed mempertimbangkan kembali jalur ini, terutama jika risiko inflasi muncul lebih cepat dari yang diantisipasi," ungkap Analis seperti dilansir Telegraph.
Analis pada lembaga yang berbasis di Washington ini mengatakan, rencana pengurangan pajak oleh Trump tanpa pemotongan pengeluaran, pada saat yang sama bakal mendorong utang nasional AS naik dari sekitar 100% PDB saat ini menjadi lebih dari 135% dalam waktu satu dekade ke depan.
Lonjakan inflasi juga membayangi AS, karena Trump sempat menyatakan akan mengenakan tarif 10%-20% pada sebagian besar produk impor. Memasang tarif tinggi impor pada akhirnya akan berujung pada kenaikan harga barang-barang, yang kemudian bakal ditanggung konsumen.
Utang nasional AS saat ini sudah mendekati USD36 triliun atau setara Rp565.459 triliun (kurs Rp15.707 per USD) dan IIF memperingatkan utang tersebut dapat mencapai lebih dari 150% terhadap PDB jika pemotongan pajak Trump lebih besar dari yang diperkirakan.
Beberapa rencana Trump lainnya termasuk membuat upah lembur dan tip menjadi bebas pajak. Kebijakan semacam itu menurut para analis di IIF, bakal merangsang pengeluaran dan juga akan menghidupkan kembali inflasi.
Presiden terpilih Donald Trump sempat mengatakan, ingin menaikkan pajak atas barang-barang impor, membawa pendapatan tambahan untuk kas negara dan, mudah-mudahan merangsang manufaktur lokal. Namun ekonomi mengkhawatirkan, semua itu juga akan memicu inflasi dengan membuat barang-barang buatan luar negeri menjadi lebih mahal.
Tekanan harga seperti itu kemungkinan akan memaksa Federal Reserve alias the Fed untuk meninggalkan rencananya memangkas suku bunga. Dimana IIF memperkirakan, bakal membuat biaya pinjaman lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama.
"Penurunan suku bunga baru-baru ini telah menjadi bagian dari strategi Fed (bank sentral AS) untuk mendukung pertumbuhan, namun ekspansi fiskal di bawah Trump dapat memaksa Fed mempertimbangkan kembali jalur ini, terutama jika risiko inflasi muncul lebih cepat dari yang diantisipasi," ungkap Analis seperti dilansir Telegraph.
tulis komentar anda