UU Cipta Kerja Dipakai Pemerintah untuk Genjot Pajak Digital dan Pertanian

Senin, 12 Oktober 2020 - 15:14 WIB
Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR, akan dipakai oleh pemerintah untuk menggenjot perpajakan digital dan pertanian. Foto/Dok
JAKARTA - Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR, akan dipakai oleh pemerintah untuk menggenjot perpajakan digital dan pertanian. Salah satu poin reformasi regulasi dalam UU tersebut ialah klaster perpajakan dan melalui klaster itu, pemerintah ingin sektor yang yang belum optimal dalam pembayaran pajaknya , seperti sektor digital bakal digenjot.

"Bagaimana kita mulai memajaki sektor yang selama ini belum dipajaki selain sektoral. Sebelum masuk ke situ, ada semacam sektor yang selama ini makin tidak terpajaki itu adalah sektor digital," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu dalam video virtual, Senin (12/10/2020).

(Baca Juga: Sri Mulyani Selipkan Klaster Perpajakan ke Dalam UU Cipta Kerja, Ini Penjelasannya )



"Di situlah pentingnya pengenalan pajak digital yang sudah dikenalkan Kemenkeu, adalah PMSE. Nah ini kita harapkan juga mulai. Karena teman-teman milenial konsumsinya mengarah ke digital. Kalau semuanya ke sana, semakin sedikit penerimaan perpajakan kita kalau itu tidak dipajaki," paparnya.

Dia melanjutkan pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan pajak bagi pengusaha-pengusaha besar di sektor pertanian. "Lalu sektor pertanian. Kenapa dia rendah? Ya pada dasarnya itu ada masalah literasi," sambungnya.

(Baca Juga: Target Berat Penerimaan Pajak )

"Kita nggak sedang berusaha untuk memajaki petani dengan lahan yang sangat kecil, kita sedang memastikan petani yang omzetnya cukup besar, kalau nggak salah Rp 2 miliar harusnya bayar pajak secara disiplin. Nah ini meningkatkan basis pajak memang nggak mudah. dan butuh administrasi yang luar biasa dari Direktorat Jenderal Pajak," papar Febrio Nathan.

Sambung dia menambahkan, pemerintah juga ingin meningkatkan basis pajak di sektor UMKM. Menurutnya, meski banyak UMKM termasuk pengusaha kelas informal, namun potensi penerimaannya cukup besar.

(Baca Juga: Netflix hingga Spotify Sudah Mulai Setor Pajak, Diterima Baru Rp97 Miliar )

"Untuk UMKM juga perlu reformasi perpajakan, melihat bahwa porsi UMKM sangat besar, cerminkan informality dari perekonomian kita. Banyak tidak tertangkap dalam perpajakan. Porsi UMKM sangat besar sehingga threshold PKP Rp 4,8 miliar (Pengusaha Kena Pajak), menyebabkan pajak dengan rezim normal makin kecil dan rezim PPh final bertambah," tandasnya.
(akr)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More