Bahas Suntikan Dana Penyelamatan Jiwasraya, DPR Sentil Erick Thohir & Sri Mulyani
Selasa, 17 November 2020 - 20:21 WIB
JAKARTA - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2020 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke dalam modal saham PT Bahana Pembinaan usaha Indonesia (Persero) atau BPUI . Dengan begitu, induk holding BUMN asuransi dan penjaminan tersebut akan menerima PMN sebesar Rp20 triliun pada 2021.
Meski begitu, Komisi XI DPR mempertanyakan sejumlah alasan pemerintah menyetujui BPUI sebagai induk holding asuransi dan penjaminan perseroan plat merah. Pertanyaan itu secara khusus mengacu pada kemampuan manajerial emiten untuk mengelola aset dan portofolio anggota holding.
Bahkan, salah satu anggota Komisi XI Andreas Eddy Susetyo menilai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Keuangan (Menkeu) terlalu terburu-buru menetapkan menetapkan BPUI ke dalam holding. Khusus untuk Sri Mulyani, Andreas menyebut, pihaknya akan memanggil Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut untuk menjelaskan perihal penerbitan PP Nomor 20 Tahun 2020 ihwal PMN. Dia bilang, seharusnya ada diskusi sebelum PP diterbitkan.
"Harusnya kita diskusikan sebelum PP-nya keluar, tapi karena PP-nya uda keluar, maka kita akan tanyakan ke Menteri Keuangan. Karena menjadi banyak pertanyaan, kalau dikatakan BPUI itu menjadi kekuatannya mengeloh portofolio, kita lihat sendiri perkembangan BPUI seberapa besar?," ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP), Jakarta, Selasa (17/11/2020).
Komisi XI menilai ada kajian lebih jahu perihal BPUI. Meski pembentukan holding tidak masuk dalam wewenang DPR, namun secara anggaran, khusus PMN, harus disetujui DPR. "Menurut saya, BPUI sebelum menjadi holding itu menurut saya juga bermasalah gitu, kalau kita lihat track record, kalau kita mau beda ini, kemampuannya mengelola investasi," katanya.
Pernyataan anggota DPR itu berawal dari presentasi Direktur Utama PBUI Robertus Bilitea dan sejumlah manajemen lainnya. Dalam paparan tersebut, manajemen hanya menyampaikan tujuan pembentukan holding hanya karena permasalahan PT Jiwasraya (Persero). Di mana, BPUI digadang-gadang untuk menyelamatkan pemegang polis Jiwasraya.
Dengan demikian, manajemen dinilai hanya menyampaikan materi secara gambaran besar saja. Sementara hal-hal yang sifatnya substansial atas pembentukan holding dan skema pengelolaan aset dan portofolio tidak dijelaskan secara detail. Bahkan, Robertus pun tidak menyediakan sejumlah dokumen yang dimintai DPR.
"Belum pernah disampaikan oleh Menteri Keuangan atau Menteri BUMN kepada kami seperti apa roadmap dan business plan penggabungan ini, tiba-tiba bapak-bapak di sini minta PMN. Memang pembentukan holding tidak perlu persetujuan DPR, tetapi setidaknya kami disampaikan exercise-nya dulu. Sehingga ketika memutuskan PMN itu tidak terburu-buru dan kami tidak blank," kata Vera Febyanthy dari Fraksi Partai Demokrat.
Mendengar pernyataan dari sejumlah anggota Komisi tersebut, Andreas mengatakan akan melakukan FGD sebelum melakukan RDP kedua kalinya. "Kalau suatu waktu kita FGD Pak, kita bisa jelaskan lebih detail, ini terbalik sebenarnya holdingnya belum ada sudah harus dijelaskan," ujar dia.
Meski begitu, Komisi XI DPR mempertanyakan sejumlah alasan pemerintah menyetujui BPUI sebagai induk holding asuransi dan penjaminan perseroan plat merah. Pertanyaan itu secara khusus mengacu pada kemampuan manajerial emiten untuk mengelola aset dan portofolio anggota holding.
Bahkan, salah satu anggota Komisi XI Andreas Eddy Susetyo menilai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Keuangan (Menkeu) terlalu terburu-buru menetapkan menetapkan BPUI ke dalam holding. Khusus untuk Sri Mulyani, Andreas menyebut, pihaknya akan memanggil Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut untuk menjelaskan perihal penerbitan PP Nomor 20 Tahun 2020 ihwal PMN. Dia bilang, seharusnya ada diskusi sebelum PP diterbitkan.
"Harusnya kita diskusikan sebelum PP-nya keluar, tapi karena PP-nya uda keluar, maka kita akan tanyakan ke Menteri Keuangan. Karena menjadi banyak pertanyaan, kalau dikatakan BPUI itu menjadi kekuatannya mengeloh portofolio, kita lihat sendiri perkembangan BPUI seberapa besar?," ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP), Jakarta, Selasa (17/11/2020).
Komisi XI menilai ada kajian lebih jahu perihal BPUI. Meski pembentukan holding tidak masuk dalam wewenang DPR, namun secara anggaran, khusus PMN, harus disetujui DPR. "Menurut saya, BPUI sebelum menjadi holding itu menurut saya juga bermasalah gitu, kalau kita lihat track record, kalau kita mau beda ini, kemampuannya mengelola investasi," katanya.
Pernyataan anggota DPR itu berawal dari presentasi Direktur Utama PBUI Robertus Bilitea dan sejumlah manajemen lainnya. Dalam paparan tersebut, manajemen hanya menyampaikan tujuan pembentukan holding hanya karena permasalahan PT Jiwasraya (Persero). Di mana, BPUI digadang-gadang untuk menyelamatkan pemegang polis Jiwasraya.
Dengan demikian, manajemen dinilai hanya menyampaikan materi secara gambaran besar saja. Sementara hal-hal yang sifatnya substansial atas pembentukan holding dan skema pengelolaan aset dan portofolio tidak dijelaskan secara detail. Bahkan, Robertus pun tidak menyediakan sejumlah dokumen yang dimintai DPR.
"Belum pernah disampaikan oleh Menteri Keuangan atau Menteri BUMN kepada kami seperti apa roadmap dan business plan penggabungan ini, tiba-tiba bapak-bapak di sini minta PMN. Memang pembentukan holding tidak perlu persetujuan DPR, tetapi setidaknya kami disampaikan exercise-nya dulu. Sehingga ketika memutuskan PMN itu tidak terburu-buru dan kami tidak blank," kata Vera Febyanthy dari Fraksi Partai Demokrat.
Mendengar pernyataan dari sejumlah anggota Komisi tersebut, Andreas mengatakan akan melakukan FGD sebelum melakukan RDP kedua kalinya. "Kalau suatu waktu kita FGD Pak, kita bisa jelaskan lebih detail, ini terbalik sebenarnya holdingnya belum ada sudah harus dijelaskan," ujar dia.
(nng)
Lihat Juga :
tulis komentar anda