Jurus Gasifikasi Kurang Sakti, RI Masih Kebanjiran Impor LPG
Selasa, 22 Desember 2020 - 16:16 WIB
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) melaporkan supply energi dalam negeri masih cukup rendah, sementara permintaan komoditas energi seperti batu bara dan gas cukup tinggi. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bahwa hal itu membuat sektor energi berkontribusi terhadap defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) karena pemerintah harus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
"Selama ini disampaikan bahwa sektor energi dan sektor migas ini memberikan kontribusi terhadap current account deficit," ujar Nicke Widyawati dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2021, Selasa (22/12/2020).
Dia mencontohkan, bahan bakar minyak dan gas yang diproduksi menjadi Liquefied Petroleum Gas (LPG) masih belum optimal. Sementara kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi LPG semakin tinggi sehingga impor masih diandalkan. "Nah hal itulah yang membuat Indonesia selalu defisit di sektor energi. Untuk memenuhi kebutuhan kita harus melakukan impor, dari sisi minyak dan LPG yang secara value ini menghasilkan defisit," kata dia.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia memiliki cadangan gas alam hingga 77 triliun kaki kubik (TCF), namun jumlah itu belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan dalam negeri.
Bukannya mengembangkan pasar penyerap dan juga infrastruktur gas alam ini, Indonesia malah memilih LPG yang sumber pasokan di dalam negeri terbatas. Alhasil, peningkatan impor LPG secara terus-menerus dibiarkan. Padahal, gas alam bisa menjadi salah satu alternatif bahan bakar pengganti LPG, sehingga bisa mengurangi impor LPG. Persoalan itu pun sudah menjadi perhatian Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di mana, Menteri BUMN Erick Thohir terus berupaya menarik investasi atau menjajaki kerja sama dengan Amerika Serikat untuk pengadaan energi.
Kerja sama tersebut, salah satunya antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan Air Products & Chemicals Inc, perusahaan asal AS. Hal ini dilakukan untuk menekan impor LPG. PTBA menggandeng Air Products untuk mengembangkan proyek hilirisasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Rencananya, PTBA menggarap proyek gasifikasi batu bara dengan produk Dimethyl Ether (DME) yang diyakini bisa mengurangi impor LPG di masa mendatang. "Agar impor LPG bisa ditekan dengan pabrik ini. Jadi di antaranya BUMN dengan partnership bisa produksi 1,2 juta kebutuhan LPG untuk dikurangi," ujar Erick.
Total investasi untuk pengembangan gasifikasi ini mencapai 3,2 miliar dolar AS, di mana Air Products bertindak sebagai investor di bisnis hulu dan hilir. "Hal-hal lain yang dilakukan adalah batu bara gasification dengan perusahaan AS. Investasinya hampir 3 miliar dolar AS lebih dan akan dijalankan dan diselesaikan di tahun 2023-2024," kata dia.
Dia pun menambahkan, dalam waktu dekat ini akan terbang ke Korea Selatan untuk menjamin kesepakatan partnership dengan negeri ginseng tersebut. "Penjajakan ini Alhamdulillah sudah dapatkan hasil, salah satunya berpartner dengan China. Dan beberapa minggu ini kita akan terbang ke Korea Selatan untuk memastikan partnership berjalan," ujarnya.
"Selama ini disampaikan bahwa sektor energi dan sektor migas ini memberikan kontribusi terhadap current account deficit," ujar Nicke Widyawati dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2021, Selasa (22/12/2020).
Baca Juga
Dia mencontohkan, bahan bakar minyak dan gas yang diproduksi menjadi Liquefied Petroleum Gas (LPG) masih belum optimal. Sementara kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi LPG semakin tinggi sehingga impor masih diandalkan. "Nah hal itulah yang membuat Indonesia selalu defisit di sektor energi. Untuk memenuhi kebutuhan kita harus melakukan impor, dari sisi minyak dan LPG yang secara value ini menghasilkan defisit," kata dia.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia memiliki cadangan gas alam hingga 77 triliun kaki kubik (TCF), namun jumlah itu belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan dalam negeri.
Bukannya mengembangkan pasar penyerap dan juga infrastruktur gas alam ini, Indonesia malah memilih LPG yang sumber pasokan di dalam negeri terbatas. Alhasil, peningkatan impor LPG secara terus-menerus dibiarkan. Padahal, gas alam bisa menjadi salah satu alternatif bahan bakar pengganti LPG, sehingga bisa mengurangi impor LPG. Persoalan itu pun sudah menjadi perhatian Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di mana, Menteri BUMN Erick Thohir terus berupaya menarik investasi atau menjajaki kerja sama dengan Amerika Serikat untuk pengadaan energi.
Kerja sama tersebut, salah satunya antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan Air Products & Chemicals Inc, perusahaan asal AS. Hal ini dilakukan untuk menekan impor LPG. PTBA menggandeng Air Products untuk mengembangkan proyek hilirisasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Rencananya, PTBA menggarap proyek gasifikasi batu bara dengan produk Dimethyl Ether (DME) yang diyakini bisa mengurangi impor LPG di masa mendatang. "Agar impor LPG bisa ditekan dengan pabrik ini. Jadi di antaranya BUMN dengan partnership bisa produksi 1,2 juta kebutuhan LPG untuk dikurangi," ujar Erick.
Total investasi untuk pengembangan gasifikasi ini mencapai 3,2 miliar dolar AS, di mana Air Products bertindak sebagai investor di bisnis hulu dan hilir. "Hal-hal lain yang dilakukan adalah batu bara gasification dengan perusahaan AS. Investasinya hampir 3 miliar dolar AS lebih dan akan dijalankan dan diselesaikan di tahun 2023-2024," kata dia.
Dia pun menambahkan, dalam waktu dekat ini akan terbang ke Korea Selatan untuk menjamin kesepakatan partnership dengan negeri ginseng tersebut. "Penjajakan ini Alhamdulillah sudah dapatkan hasil, salah satunya berpartner dengan China. Dan beberapa minggu ini kita akan terbang ke Korea Selatan untuk memastikan partnership berjalan," ujarnya.
(nng)
tulis komentar anda