Duhh..... RPP Sektor Kehutanan dan Perkebunan Rugikan Petani Rp546 Triliun
Kamis, 14 Januari 2021 - 14:49 WIB
Yang paling membikin Apkasindo khawatir, kata Gulat, di RPP itu disebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan. “Sementara itu, mayoritas petani sawit justru ada di kawasan hutan yang masih dalam penunjukan, pemetaan dan penataan batas,” akunya.
Petani sawit adalah investor karena petani menanam sendiri, memupuk sendiri, memodali sendiri, membuat jalan sendiri semua serba sendiri. Dengan luas kebun petani dalam kawasan hutan seluas 2,73 juta ha jika tidak diakomodir dalam RPP dalam bentuk pasal khusus, maka investasi petani dengan luas 2,73 juta ha tersebut akan hilang sebesar Rp546 triliun, termasuk biaya sosialnya.
Belum lagi dihitung kerugian pemerintah untuk menghutankan kembali dan hilangnya potensi penerimaan negara yang diperkirakan mencapai Rp825 triliun. Jika digabung semua kerugian inventasi ini, maka totalnya mencapai Rp1.370 triliun.
Untuk kerugian penerimaan negara (Bea Keluar dan Pungutan Ekspor) baru dihitung satu tahun, jika umur tanaman masih produktif 10 tahun lagi maka tinggal mengalikan saja.
“UUCK hanya memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan tadi. Kalau persoalan klaim kawasan hutan tadi baru bisa kelar setelah pengukuhan kawasan hutan, kami pastikan waktu 3 tahun itu tidak akan cukup,” tambah Gulat.
Menurutnya, apabila tak terselesaikan maka petani sawit akan terus bermasalah dengan kawasan hutan. Akibatnya, program strategis Presiden-Wakil Presiden terkait perkebunan sawit rakyat (PSR) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tidak akan pernah bisa digapai petani. Ini berdampak secara menyeluruh, sehingga menabrakkan Program Strategis Presiden/Wapres di Bidang Ketahanan Energi, Bidang Sawit berkelanjutan dan Program PSR ke RPP yang sedang dirancang ini. Terganggunya hulu (aspek budidaya dan produksi) akan praktis mengganggu hilir (industrilisasi).
(Baca juga:Jalan Tengah Penyelesaian Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan)
“Kita harus mensyukuri anugerah Tuhan kepada NKRI, yaitu sawit dapat tumbuh subur di Indonesia dan menjadi kebanggaan dan penopang ekonomi Indonesia dan sudah teruji saat krisis moneter 1998 dan Covid-19 bahwa sawitlah menjadi penopang ekonomi Indonesia, sebagaimana Pidato Presiden saat Rakernas Pembangunan Pertanian (11-01-2021) tentang ekonomi Indonesia bahwa sawit adalah penyumbang nilai ekspor tertinggi Indonesia,” jelas Gulat.
Dia berharap Presiden menegur semua perangkat yang terlibat dalam penyusunan RPP ini. “Sebab dalam UU Cipta Kerja sudah bagus dan kami Apkasindo setuju dengan roh UUCK tersebut,” katanya.
Tapi dalam RPP tidak sesuai dengan harapan besar yang sudah disampaikan presiden di beberapa kali pidato. “Kami menduga ada niat jahat yang terstruktur, masif dan sistematis dalam rencana besar Presiden Jokowi memperbaiki sistem regulasi kehutanan dan perkebunan di Indonesia ini yang sudah puluhan tahun sengaja dibiarkan berantakan,” tegasnya.
Petani sawit adalah investor karena petani menanam sendiri, memupuk sendiri, memodali sendiri, membuat jalan sendiri semua serba sendiri. Dengan luas kebun petani dalam kawasan hutan seluas 2,73 juta ha jika tidak diakomodir dalam RPP dalam bentuk pasal khusus, maka investasi petani dengan luas 2,73 juta ha tersebut akan hilang sebesar Rp546 triliun, termasuk biaya sosialnya.
Belum lagi dihitung kerugian pemerintah untuk menghutankan kembali dan hilangnya potensi penerimaan negara yang diperkirakan mencapai Rp825 triliun. Jika digabung semua kerugian inventasi ini, maka totalnya mencapai Rp1.370 triliun.
Untuk kerugian penerimaan negara (Bea Keluar dan Pungutan Ekspor) baru dihitung satu tahun, jika umur tanaman masih produktif 10 tahun lagi maka tinggal mengalikan saja.
“UUCK hanya memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan tadi. Kalau persoalan klaim kawasan hutan tadi baru bisa kelar setelah pengukuhan kawasan hutan, kami pastikan waktu 3 tahun itu tidak akan cukup,” tambah Gulat.
Menurutnya, apabila tak terselesaikan maka petani sawit akan terus bermasalah dengan kawasan hutan. Akibatnya, program strategis Presiden-Wakil Presiden terkait perkebunan sawit rakyat (PSR) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tidak akan pernah bisa digapai petani. Ini berdampak secara menyeluruh, sehingga menabrakkan Program Strategis Presiden/Wapres di Bidang Ketahanan Energi, Bidang Sawit berkelanjutan dan Program PSR ke RPP yang sedang dirancang ini. Terganggunya hulu (aspek budidaya dan produksi) akan praktis mengganggu hilir (industrilisasi).
(Baca juga:Jalan Tengah Penyelesaian Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan)
“Kita harus mensyukuri anugerah Tuhan kepada NKRI, yaitu sawit dapat tumbuh subur di Indonesia dan menjadi kebanggaan dan penopang ekonomi Indonesia dan sudah teruji saat krisis moneter 1998 dan Covid-19 bahwa sawitlah menjadi penopang ekonomi Indonesia, sebagaimana Pidato Presiden saat Rakernas Pembangunan Pertanian (11-01-2021) tentang ekonomi Indonesia bahwa sawit adalah penyumbang nilai ekspor tertinggi Indonesia,” jelas Gulat.
Dia berharap Presiden menegur semua perangkat yang terlibat dalam penyusunan RPP ini. “Sebab dalam UU Cipta Kerja sudah bagus dan kami Apkasindo setuju dengan roh UUCK tersebut,” katanya.
Tapi dalam RPP tidak sesuai dengan harapan besar yang sudah disampaikan presiden di beberapa kali pidato. “Kami menduga ada niat jahat yang terstruktur, masif dan sistematis dalam rencana besar Presiden Jokowi memperbaiki sistem regulasi kehutanan dan perkebunan di Indonesia ini yang sudah puluhan tahun sengaja dibiarkan berantakan,” tegasnya.
tulis komentar anda