Ekonom: Cetak Uang, Lebih Banyak Gagal Daripada Berhasil
Minggu, 17 Mei 2020 - 20:00 WIB
JAKARTA - Badan Anggaran (Banggar) DPR belum lama ini memunculkan wacana agar Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang sekitar Rp400-600 triliun untuk menutupi kebutuhan anggaran pemerintah yang besar dalam menangani wabah Covid-19. Wacana itu lantas menuai pro dan kontra di kalangan pemerintah dan politisi.
Menanggapi wacana tersebut, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan kebijakan moneter harus tetap difokuskan pada pengendalian inflasi, dan karenanya pencetakan uang untuk membiayai defisit anggaran pemerintah akan mengancam kestabilan harga dan kestabilan moneter secara keseluruhan.
"lebih banyak gagal daripada berhasil. Ada puluhan negara yang mengalami hiperinflasi," Kata Josua kepada SINDOnews, Minggu (17/5/2020).
(Baca Juga: Cetak Uang Demi Atasi Krisis, Ini Untung-Ruginya Kata Ekonom)
Berkaca pada tahun 1965, dimana terjadi peningkatan yang berlebihan dalam pencetakan uang untuk pembiayaan defisit anggaran sebagai akibat kebijakan fiskal yang ekspansif, yang menimbulkan lonjakan uang beredar jauh melebihi dari kebutuhan riil perekonomian, mendorong naiknya harga-harga secara tajam. "Akibatnya, laju inflasi membumbung tinggi hingga mencapai sekitar 600% pada tahun 1965, yang dikenal dengan periode hyperinflation," terangnya.
Pengalaman selama periode pertengahan tahun 1960-an itu memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal. "Di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini, koordinasi antara pemerintah, BI, OJK dan LPS juga perlu senantiasa diperkuat," imbuhnya.
Josua menambahkan, dalam Perppu No 1 tahun 2020, untuk menutupi defisit APBN, wewenang diberikan kepada BI adalah masuk di pasar perdana sedemikian sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor di pasar SBN, baik investor lokal dan investor asing. Dengan demikian, dapat mengurangi tekanan di pasar sekunder dengan kondisi pelebaran defisit APBN tahun 2020.
Selain itu, Lanjut Joshua, dalam rangka mendorong momentum pertumbuhan, BI juga meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen quantitative easing yang diperkirakan akan tetap menjaga ketersediaan likuiditas di sistem perbankan. Sehingga, sektor perbankan dapat mendukung pembiayaan di sektor riil serta mendorong transmisi pelonggaran kebijakan moneter BI yang sudah dilakukan sejak bulan Juli tahun 2019 yang lalu.
Menanggapi wacana tersebut, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan kebijakan moneter harus tetap difokuskan pada pengendalian inflasi, dan karenanya pencetakan uang untuk membiayai defisit anggaran pemerintah akan mengancam kestabilan harga dan kestabilan moneter secara keseluruhan.
"lebih banyak gagal daripada berhasil. Ada puluhan negara yang mengalami hiperinflasi," Kata Josua kepada SINDOnews, Minggu (17/5/2020).
(Baca Juga: Cetak Uang Demi Atasi Krisis, Ini Untung-Ruginya Kata Ekonom)
Berkaca pada tahun 1965, dimana terjadi peningkatan yang berlebihan dalam pencetakan uang untuk pembiayaan defisit anggaran sebagai akibat kebijakan fiskal yang ekspansif, yang menimbulkan lonjakan uang beredar jauh melebihi dari kebutuhan riil perekonomian, mendorong naiknya harga-harga secara tajam. "Akibatnya, laju inflasi membumbung tinggi hingga mencapai sekitar 600% pada tahun 1965, yang dikenal dengan periode hyperinflation," terangnya.
Pengalaman selama periode pertengahan tahun 1960-an itu memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal. "Di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini, koordinasi antara pemerintah, BI, OJK dan LPS juga perlu senantiasa diperkuat," imbuhnya.
Josua menambahkan, dalam Perppu No 1 tahun 2020, untuk menutupi defisit APBN, wewenang diberikan kepada BI adalah masuk di pasar perdana sedemikian sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor di pasar SBN, baik investor lokal dan investor asing. Dengan demikian, dapat mengurangi tekanan di pasar sekunder dengan kondisi pelebaran defisit APBN tahun 2020.
Selain itu, Lanjut Joshua, dalam rangka mendorong momentum pertumbuhan, BI juga meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen quantitative easing yang diperkirakan akan tetap menjaga ketersediaan likuiditas di sistem perbankan. Sehingga, sektor perbankan dapat mendukung pembiayaan di sektor riil serta mendorong transmisi pelonggaran kebijakan moneter BI yang sudah dilakukan sejak bulan Juli tahun 2019 yang lalu.
(fai)
tulis komentar anda