Cetak Uang Demi Atasi Krisis, Ini Untung-Ruginya Kata Ekonom
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana mencetak uang dalam jumlah masif, antara Rp600 triliun hingga Rp4.000 triliun untuk mengatasi mengemuka dengan semakin besarnya kebutuhan pembiayaan anggaran. Tindakan ini dinilai sebagai langkah cepat yang dibutuhkan dalam menangani dampak pandemi, yang dikhawatirkan mendorong terjadinya krisis ekonomi .
Belum lama ini, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengatakan, usulan itu masuk akal. Dia pun tak khawatir, terutama dari sisi inflasi yang kerap kali dikhawatirkan otoritas moneter. Dikatakan Said, kebijakan mencetak uang tentu berakibat pada peningkatan inflasi dapat dimitigasi dengan berbagai instrumen pengendalian yang wewenangnya dimiliki Bank Indonesia, misalnya melalui BI Rate dan kewenangan penetapan Giro Wajib Minimum (GWM).
"Kalau cetak uang Rp600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Hitungan kami kalau BI cetak Rp600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%? tidak juga kalau menurut kami," ungkapnya belum lama ini.
Menanggapi wacana ini, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang dihubungi SINDOnews membeberkan untung-ruginya langkah ini. Dia mengatakan, bertambahnya kebutuhan pembiayaan anggaran saat ini tidak terlepas dari beragam insentif yang dikeluarkan pemerintah baik itu untuk pemulihan ekonomi maupun kesehatan.
"Nah di sisi lain, likuiditas untuk kebutuhan pembiayaan di saat ini tentu tidak mudah mendapatkannya baik itu di luar negeri maupun dalam negeri, makanya wacana ini muncul," ujar Yusuf di Jakarta, Kamis (14/5/2020).
(Baca Juga: Alasan Banggar DPR Dorong BI Cetak Uang Rp600 Triliun)
Yusuf melanjutkan, sisi positif dari wacana ini, di level tertentu, adalah pemerintah tidak perlu repot-repot mencari sumber pembiayaan dari luar negeri, seperti sebelumnya pemerintah sempat mewacanakan untuk menerbitkan surat utang dengan tenor hingga 50 tahun. Dengan kebijakan ini, pilihan tersebut bisa diminimalisir.
"Sisi positif lainnya, dengan perhitungan tertentu, pemerintah bisa menambah nominal insentif di tengah kebutuhan insentif yang semakin bertambah karena adanya Covid-19 mulai dari misalnya menambah dana bansos, menambah penerima kartu pra-kerja, hingga kebijakan transfer langsung kepada masyarakat," ungkapnya.
Namun demikian, sambung dia, secara teoritis, kebijakan mencetak uang bisa mengerek inflasi. Apalagi jika kecepatan peredaran jumlah uang yang beredar (dicetak) lebih cepat dari pemenuhan kebutuhan barang yang tersedia di masyarakat.
"Hal inilah yang kemudian memantik perdebatan sekarang, apakah kebijakan cetak uang ini tepat karena bisa memantik inflasi. Untuk itu memang diperlukan exercise dari Bank Indonesia (BI), jika memang wacana ini mau dilakukan, seberapa besar inflasi yang terjadi jika BI menjalankan kebijakan ini," imbuh Yusuf.
Belum lama ini, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengatakan, usulan itu masuk akal. Dia pun tak khawatir, terutama dari sisi inflasi yang kerap kali dikhawatirkan otoritas moneter. Dikatakan Said, kebijakan mencetak uang tentu berakibat pada peningkatan inflasi dapat dimitigasi dengan berbagai instrumen pengendalian yang wewenangnya dimiliki Bank Indonesia, misalnya melalui BI Rate dan kewenangan penetapan Giro Wajib Minimum (GWM).
"Kalau cetak uang Rp600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Hitungan kami kalau BI cetak Rp600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%? tidak juga kalau menurut kami," ungkapnya belum lama ini.
Menanggapi wacana ini, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang dihubungi SINDOnews membeberkan untung-ruginya langkah ini. Dia mengatakan, bertambahnya kebutuhan pembiayaan anggaran saat ini tidak terlepas dari beragam insentif yang dikeluarkan pemerintah baik itu untuk pemulihan ekonomi maupun kesehatan.
"Nah di sisi lain, likuiditas untuk kebutuhan pembiayaan di saat ini tentu tidak mudah mendapatkannya baik itu di luar negeri maupun dalam negeri, makanya wacana ini muncul," ujar Yusuf di Jakarta, Kamis (14/5/2020).
(Baca Juga: Alasan Banggar DPR Dorong BI Cetak Uang Rp600 Triliun)
Yusuf melanjutkan, sisi positif dari wacana ini, di level tertentu, adalah pemerintah tidak perlu repot-repot mencari sumber pembiayaan dari luar negeri, seperti sebelumnya pemerintah sempat mewacanakan untuk menerbitkan surat utang dengan tenor hingga 50 tahun. Dengan kebijakan ini, pilihan tersebut bisa diminimalisir.
"Sisi positif lainnya, dengan perhitungan tertentu, pemerintah bisa menambah nominal insentif di tengah kebutuhan insentif yang semakin bertambah karena adanya Covid-19 mulai dari misalnya menambah dana bansos, menambah penerima kartu pra-kerja, hingga kebijakan transfer langsung kepada masyarakat," ungkapnya.
Namun demikian, sambung dia, secara teoritis, kebijakan mencetak uang bisa mengerek inflasi. Apalagi jika kecepatan peredaran jumlah uang yang beredar (dicetak) lebih cepat dari pemenuhan kebutuhan barang yang tersedia di masyarakat.
"Hal inilah yang kemudian memantik perdebatan sekarang, apakah kebijakan cetak uang ini tepat karena bisa memantik inflasi. Untuk itu memang diperlukan exercise dari Bank Indonesia (BI), jika memang wacana ini mau dilakukan, seberapa besar inflasi yang terjadi jika BI menjalankan kebijakan ini," imbuh Yusuf.