Kreatif dan Produktif di Masa Sulit
Sabtu, 18 April 2020 - 06:01 WIB
“Sekarang saja kita liat sudah ada ritel pakaian yang terpaksa menutup gerainya di beberapa mal dan merumahkan sebagian karyawannya. Dengan adanya pandemi korona ini penjualan perusahaan bisnis seperti ritel pakaian bisa turun 80 sampai 90%,” tegas dia.
Masalah kerugian ini pun tidak hanya dialami di Indonesia saja, Solihin pun melihat hal ini juga terjadi di banyak negara. Para pengusaha tertekan, antara tanggung jawab kelangsungan usaha dan mempertahankan pekerja.
Tidak hanya pada bidang ritel, di bidang perhotelan dan restoran pun turut merasakan hal yang sama. Mereka terpaksa mengurangi sebagian tenaga kerja karena penurunan okupansi perhotelan mencapai 50% dalam tiga bulan pertama 2020.
“Penurunan okupansi dalam hotel dan restoran di Jakarta bergantung pada kondisi bisnis di dunia dan di Jakarta itu sendiri,” ungkap anggota Perhimpunan Hotel Dan Restoran Indonesia (PHRI) Johnnie Sugiarto.
Beberapa pengusaha hotel terpaksa harus melakukan efisiensi, mulai dari mengurangi biaya operasional hingga memangkas jumlah karyawan. “Kita sudah ada yang memang terpaksa mengurangi, dan ada juga sebagian hotel sudah memberlakukan program cuti tanpa gaji,” tambah dia.
Di berbagai daerah tingkat keterhunian hotel hanya tersisa 20%. Padahal, di saat low season, okupansi bisa mencapai 30%-40%. ?”Penurunan okupansi di bulan April ini tentunya akan semakin besar lagi,” jelas dia.
Johnnie menilai pemerintah perlu segera mengambil langkah dan tentu mengajak pelaku usaha duduk bersama. Ia pun melihat dalam dua bulan ke depan harus ada stimulus yang benar-benar bisa menjawab persoalan ini. “Bayangkan saja, para pengusaha ini ada gaji ke-13, apakah nantinya mereka akan sanggup membayarkan ini apabila tidak ada stimulus sama sekali dari pemerintah,” tegas dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi Didik J Rachbini menilai, fenomena pengurangan tenaga kerja ini merupakan puncak dari lemahnya ekonomi selama beberapa waktu terakhir, ditambah lagi dengan merebaknya wabah virus corona. “Kalau melihat turunnya penjualan ritel, sebenarnya hal ini sudah terjadi sejak Agustus 2019, di mana indeks penjualan ritel Indonesia terlihat konsisten di level mengkhawatirkan,” jelas Didik.
Didik menambahkan, yang terburuk tercatat pada Agustus 2019 sebesar minus 1,8% dan Februari 2020 minus 0,5%. Desember yang menjadi bulan surga belanja pun tidak berhasil mengangkat penjualan ritel karena hanya mencatatkan pertumbuhan 3,6%.
“Indikator Purchasing Manager Index (PMI) terus turun, kemarin memang sempat mengalami kenaikan, tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan di tengah memuncaknya virus corona,” ungkap dia.
Masalah kerugian ini pun tidak hanya dialami di Indonesia saja, Solihin pun melihat hal ini juga terjadi di banyak negara. Para pengusaha tertekan, antara tanggung jawab kelangsungan usaha dan mempertahankan pekerja.
Tidak hanya pada bidang ritel, di bidang perhotelan dan restoran pun turut merasakan hal yang sama. Mereka terpaksa mengurangi sebagian tenaga kerja karena penurunan okupansi perhotelan mencapai 50% dalam tiga bulan pertama 2020.
“Penurunan okupansi dalam hotel dan restoran di Jakarta bergantung pada kondisi bisnis di dunia dan di Jakarta itu sendiri,” ungkap anggota Perhimpunan Hotel Dan Restoran Indonesia (PHRI) Johnnie Sugiarto.
Beberapa pengusaha hotel terpaksa harus melakukan efisiensi, mulai dari mengurangi biaya operasional hingga memangkas jumlah karyawan. “Kita sudah ada yang memang terpaksa mengurangi, dan ada juga sebagian hotel sudah memberlakukan program cuti tanpa gaji,” tambah dia.
Di berbagai daerah tingkat keterhunian hotel hanya tersisa 20%. Padahal, di saat low season, okupansi bisa mencapai 30%-40%. ?”Penurunan okupansi di bulan April ini tentunya akan semakin besar lagi,” jelas dia.
Johnnie menilai pemerintah perlu segera mengambil langkah dan tentu mengajak pelaku usaha duduk bersama. Ia pun melihat dalam dua bulan ke depan harus ada stimulus yang benar-benar bisa menjawab persoalan ini. “Bayangkan saja, para pengusaha ini ada gaji ke-13, apakah nantinya mereka akan sanggup membayarkan ini apabila tidak ada stimulus sama sekali dari pemerintah,” tegas dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi Didik J Rachbini menilai, fenomena pengurangan tenaga kerja ini merupakan puncak dari lemahnya ekonomi selama beberapa waktu terakhir, ditambah lagi dengan merebaknya wabah virus corona. “Kalau melihat turunnya penjualan ritel, sebenarnya hal ini sudah terjadi sejak Agustus 2019, di mana indeks penjualan ritel Indonesia terlihat konsisten di level mengkhawatirkan,” jelas Didik.
Didik menambahkan, yang terburuk tercatat pada Agustus 2019 sebesar minus 1,8% dan Februari 2020 minus 0,5%. Desember yang menjadi bulan surga belanja pun tidak berhasil mengangkat penjualan ritel karena hanya mencatatkan pertumbuhan 3,6%.
“Indikator Purchasing Manager Index (PMI) terus turun, kemarin memang sempat mengalami kenaikan, tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan di tengah memuncaknya virus corona,” ungkap dia.
tulis komentar anda