Industri Rokok Tidak Terkecuali Ikut Terdampak Wabah Covid-19
Selasa, 19 Mei 2020 - 19:14 WIB
JAKARTA - Pandemi COVID-19 telah menganggu program pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Salah satu caranya, dengan merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau pada 18 Oktober 2019.
PMK menyebutkan, pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 23%. Selain itu juga menaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Kenaikan tersebut adalah yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dan kondisinya diperparah dengan adanya pandemik COVID-19. Adanya kenaikkan cukai berdampak pada semakin meningkatkan harga rokok per batang maupun per bungkus. Sehingga masyarkat mengurangi konsumsi rokok.
“Teorinya, pemerintah ingin membatasi konsumsi masyarakat terhadap rokok. Harga jual rokok meningkat tinggi baik per batang maupun per bungkus sehingga masyarakat menghentikan konsumsi rokok. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Akibatnya masyarakat beralih ke rokok yang lebih murah dengan kadar nikotin tinggi,” ungkap Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar di Jakarta, Selasa (19/5/2020).
Lebih lanjut Ia mengakui, kenaikan cukai dan HJE Rokok masing masing sebesar 23 dan 35% tersebut telah mengurangi produksi dan penjualan produk rokok sebesar 15% dari tahun sebelumnya. Hal tersebut juga mengakibatkan perubahan pola konsumen beralih ke rokok yang terjangkau harganya, dan yang dikhawatirkan mereka beralih ke rokok illegal. Akibatnya jika tujuan PMK No. 152/2019 adalah untuk kesehatan, ternyata tidak tepat.
Akibatnya rokok illegal tersebut semakin marak dan tujuan untuk meningkatkan kesehatan tidak tercapai. Sebaliknya rokok legal berkurang sebesar 15% atau lebih parah karena dampak COVID19. Itu berarti pendapatan pemerintah dari cukai rokok pun berkurang sebesar 15%.
“Jadi dengan dikeluarkannya regulasi kenaikan tariff cukai di PMK No. 152, itu sekarang ini sudah berdampak pada penurunan produki hingga 15%. Sebaliknya dengan tarif cukai yang tinggi itu tidak menjamin bekurangnya perokok bahkan bisa jadi itu malah merugikan negara karena mereka yang tidak sanggup membeli rokok mahal akan beralih kepada rokok murah atau illegal. jadi pendapatan negara malah berkurang kan,” tegas Sulami Bahar.
COVID-19 Bisa Menyerang Siapa Saja
Pada kesempatan tersebut, Sulami Bahar juga menolak anggapan jika perokok rentan terhadap penyebaran Covid-19. Virus Corona tidak mengenal calon korban perokok atau tidak. Jika tidak menjaga kebersihan dan menjaga jarak akan mudah tertular Covid-19.
“Sekarang dengan adanya wabah covid 19 walaupun orang tidak merokok pun juga akan kena. Artinya itu bukan hanya karena rokok orang kena covid. Bukan karena rokok orang itu jadi tidak sehat,” papar Sulami Bahar.
Menurut Sulami Bahar, Industri hasil tembakau justru telah membantu pemerintah dalam upaya pencegahan dan penghentian penular Covid-19. Hal ini terbukti dengan adanya keputusan pemerintah melalui PMK No 19/2020 yang mengizinkan pemerintah daerah menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk membiayai kegiatan pencegahan penularan Covid 19 di daerahnya masing masing-masing.
PMK menyebutkan, pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 23%. Selain itu juga menaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Kenaikan tersebut adalah yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dan kondisinya diperparah dengan adanya pandemik COVID-19. Adanya kenaikkan cukai berdampak pada semakin meningkatkan harga rokok per batang maupun per bungkus. Sehingga masyarkat mengurangi konsumsi rokok.
“Teorinya, pemerintah ingin membatasi konsumsi masyarakat terhadap rokok. Harga jual rokok meningkat tinggi baik per batang maupun per bungkus sehingga masyarakat menghentikan konsumsi rokok. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Akibatnya masyarakat beralih ke rokok yang lebih murah dengan kadar nikotin tinggi,” ungkap Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar di Jakarta, Selasa (19/5/2020).
Lebih lanjut Ia mengakui, kenaikan cukai dan HJE Rokok masing masing sebesar 23 dan 35% tersebut telah mengurangi produksi dan penjualan produk rokok sebesar 15% dari tahun sebelumnya. Hal tersebut juga mengakibatkan perubahan pola konsumen beralih ke rokok yang terjangkau harganya, dan yang dikhawatirkan mereka beralih ke rokok illegal. Akibatnya jika tujuan PMK No. 152/2019 adalah untuk kesehatan, ternyata tidak tepat.
Akibatnya rokok illegal tersebut semakin marak dan tujuan untuk meningkatkan kesehatan tidak tercapai. Sebaliknya rokok legal berkurang sebesar 15% atau lebih parah karena dampak COVID19. Itu berarti pendapatan pemerintah dari cukai rokok pun berkurang sebesar 15%.
“Jadi dengan dikeluarkannya regulasi kenaikan tariff cukai di PMK No. 152, itu sekarang ini sudah berdampak pada penurunan produki hingga 15%. Sebaliknya dengan tarif cukai yang tinggi itu tidak menjamin bekurangnya perokok bahkan bisa jadi itu malah merugikan negara karena mereka yang tidak sanggup membeli rokok mahal akan beralih kepada rokok murah atau illegal. jadi pendapatan negara malah berkurang kan,” tegas Sulami Bahar.
COVID-19 Bisa Menyerang Siapa Saja
Pada kesempatan tersebut, Sulami Bahar juga menolak anggapan jika perokok rentan terhadap penyebaran Covid-19. Virus Corona tidak mengenal calon korban perokok atau tidak. Jika tidak menjaga kebersihan dan menjaga jarak akan mudah tertular Covid-19.
“Sekarang dengan adanya wabah covid 19 walaupun orang tidak merokok pun juga akan kena. Artinya itu bukan hanya karena rokok orang kena covid. Bukan karena rokok orang itu jadi tidak sehat,” papar Sulami Bahar.
Menurut Sulami Bahar, Industri hasil tembakau justru telah membantu pemerintah dalam upaya pencegahan dan penghentian penular Covid-19. Hal ini terbukti dengan adanya keputusan pemerintah melalui PMK No 19/2020 yang mengizinkan pemerintah daerah menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk membiayai kegiatan pencegahan penularan Covid 19 di daerahnya masing masing-masing.
tulis komentar anda