Pekerja Perempuan Kurang Aman Bekerja di Perkebunan Kelapa Sawit
Kamis, 29 April 2021 - 07:39 WIB
JAKARTA - Pekerja perempuan dinilai kurang aman bekerja di industri perkebunan kelapa sawit . Banyak tantangan yang harus dihadapi pekerja perempuan yang bekerja di sektor ini.
Oleh karena itu diperlukan payung hukum supaya perempuan di sektor perkebunan kelapa sawit bisa terlindungi. “Kebijakan ini mesti dipatuhi seluruh anggota RSPO,” ujar Direktur Assurance Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sekaligus Plt Deputi Direktur RSPO Indonesia, Tiur Rumondang pada Webinar FGD Sawit Berkelanjutan bertajuk “Ketangkasan Perempuan Sawit Indonesia”.
Sebab itu, lanjut Tiur, penempatan perlindungan perempuan harus terus dijaga. Sehingga bisa memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki para perempuan. Selain itu, kesetaraaan gender bisa diterapkan untuk semua level perkejaan, termasuk para pekerja perempuan di lapangan.
(Baca juga:Program Peremajaan Sawit Rakyat Kurangi Risiko Pembukaan Lahan Ilegal)
“Sebab itu perlu dipastikan praktik berkelanjutan dalam melindungi perempuan di sektor perkebunan dilakukan dan standar RSPO yang disediakan juga untuk memastikan ada forum untuk para perempuan,” kata Tiur.
Sementara itu, Group Sustainability Lead Cargill Tropical Palm (CTP) Yunita Widiastuti mengatakan, Cargill Tropical Palm terbentuk pada 2015 untuk membawahi bisnis Cargill di bidang produksi minyak kelapa sawit.
Berkantor pusat di Singapura dan memiliki hampir 18.000 karyawan. Dari total karyawan tersebut sebanyak 11% adalah pekerja perempuan dan merupakan pekerja dengan level supervisor tingkat 2 ke atas. Sementara untuk level manger 1 dan 2 mencapai 3,3%.
(Baca juga:Gapki: Ekspor Sawit RI Belum Terpengaruh Tsunami Covid di India)
Kondisi ini terjadi lantaran Cargill telah berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia, memperlakukan orang dengan martabat dan rasa hormat di tempat kerja dan di masyarakat di mana perusahaan melakukan bisnis. Lebih lanjut, Yunita mengatakan, mesti diakui bahwa di industri sawit Indonesia, kaum perempuan juga memiliki peran penting dalam kemajuan minyak sawit yang berkelanjutan.
Oleh karena itu diperlukan payung hukum supaya perempuan di sektor perkebunan kelapa sawit bisa terlindungi. “Kebijakan ini mesti dipatuhi seluruh anggota RSPO,” ujar Direktur Assurance Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sekaligus Plt Deputi Direktur RSPO Indonesia, Tiur Rumondang pada Webinar FGD Sawit Berkelanjutan bertajuk “Ketangkasan Perempuan Sawit Indonesia”.
Sebab itu, lanjut Tiur, penempatan perlindungan perempuan harus terus dijaga. Sehingga bisa memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki para perempuan. Selain itu, kesetaraaan gender bisa diterapkan untuk semua level perkejaan, termasuk para pekerja perempuan di lapangan.
(Baca juga:Program Peremajaan Sawit Rakyat Kurangi Risiko Pembukaan Lahan Ilegal)
“Sebab itu perlu dipastikan praktik berkelanjutan dalam melindungi perempuan di sektor perkebunan dilakukan dan standar RSPO yang disediakan juga untuk memastikan ada forum untuk para perempuan,” kata Tiur.
Sementara itu, Group Sustainability Lead Cargill Tropical Palm (CTP) Yunita Widiastuti mengatakan, Cargill Tropical Palm terbentuk pada 2015 untuk membawahi bisnis Cargill di bidang produksi minyak kelapa sawit.
Berkantor pusat di Singapura dan memiliki hampir 18.000 karyawan. Dari total karyawan tersebut sebanyak 11% adalah pekerja perempuan dan merupakan pekerja dengan level supervisor tingkat 2 ke atas. Sementara untuk level manger 1 dan 2 mencapai 3,3%.
(Baca juga:Gapki: Ekspor Sawit RI Belum Terpengaruh Tsunami Covid di India)
Kondisi ini terjadi lantaran Cargill telah berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia, memperlakukan orang dengan martabat dan rasa hormat di tempat kerja dan di masyarakat di mana perusahaan melakukan bisnis. Lebih lanjut, Yunita mengatakan, mesti diakui bahwa di industri sawit Indonesia, kaum perempuan juga memiliki peran penting dalam kemajuan minyak sawit yang berkelanjutan.
tulis komentar anda