Pekerja Perempuan Kurang Aman Bekerja di Perkebunan Kelapa Sawit
Kamis, 29 April 2021 - 07:39 WIB
Di Cargill Tropical Palm, hal ini terlihat dari banyaknya posisi penting yang diisi oleh karyawan perempuan seperti di tataran operational ada estate manager, operator mini tractor, loose fruit collector, agronomy team, field assistant, farmer development manager. Selain itu, pekerja perempuan juga ada di departemen pendukung, seperti environment, health and safety, dokter, sustainability manager, finance manager, komunikasi, government relations.
Sebab itu Cargill, berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit termasuk pemerintah, Gapki, RSPO, ISPO, LSM, para pekebun dan perusahaan lain. Perusahaan juga berupaya menciptakan tempat kerja yang inklusif dan beragam yang dapat mendorong potensi setiap karyawan.
(Baca juga:Ekspor Minyak Sawit Maret 2021 Capai 3,24 Juta Ton)
“Cargill telah berupaya meningkatkan keberadaan perempuan yang terus bertambah di bidang perkebunan, menyediakan sumber daya bagi para calon karyawan dan memotivasi para perempuan yang sedang mempertimbangkan karir di industri ini,” kata Yunita.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan secara umum perempuan di perkebunan kelapa sawit seperti para istri dan anak perempuan petani sawit, buruh itu sendiri dan atau istri buruh, lantas perempuan di sekitar perkebunan. “Beberapa investigasi dan penelitian mengungkap bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan (SW 2008),” kata Inda.
Lebih lanjut tutur Inda, sementara perempuan dalam kontruksi gender di perkebunan kelapa sawit bisa berupa pekerjaan domestik dianggap sebagai tugas bahkan kewajiban perempuan sebagai istri/ibu rumah tangga, juga berlaku bagi anak perempuan. Lantas di beberapa kasus, pekerja perempuan bahkan tidak dihitung sebagai pekerjaan yang diperhitungkan dalam ekonomi nasional.
(Baca juga:Asian Agri Targetkan Peremajaan Sawit Tiap Tahun 5.000 Ha)
“Ketika perempuan/istri/ibu melakukan pekerjaan di ranah produktif, masih dianggap membantu sehingga ‘sepertinya’ tidak terlihat serta tidak masuk dalam statistik formal,” kata Inda.
Untuk kasus buruh kebun perempuan, tutur Inda, pada umumnya perempuan hanya sebagai BHL (buruh harian lepas) sehingga tidak ada kontrak kerja dan gaji lebih kecil dari buruh tetap bekerja sesuai permintaan perusahaan. Umumnya pekerjaan berisiko tinggi (menyemprot, memupuk, membabat, melintring) terkadang pula tidak disediakan alat perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai, sehingga harus membawa sendiri. “Tidak ada asuransi kecelakaan kerja tidak ada pelayanan kesehatan. Tidak dapat bonus, THR (kecuali mencapai enam puluh hari kerja secara kontinyu hingga hari raya lebaran atau natal), dan lainnya,” kata Inda.
Bagi Rukaiyah Rafiq, dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), perempuan sawit bisa dibagi dalam dua kelompok, pertama kelompok petani swadaya dari transmigran. Biasanya petani sawit perempuan ini memiliki lahan terbatas, hanya mengelola 2-3 ha lahan. Jika transmigrasi berkaitan dengan dengan perkebunan kelapa sawit, maka lahan mayoritas sudah menjadi kelapa sawit.
Sebab itu Cargill, berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit termasuk pemerintah, Gapki, RSPO, ISPO, LSM, para pekebun dan perusahaan lain. Perusahaan juga berupaya menciptakan tempat kerja yang inklusif dan beragam yang dapat mendorong potensi setiap karyawan.
(Baca juga:Ekspor Minyak Sawit Maret 2021 Capai 3,24 Juta Ton)
“Cargill telah berupaya meningkatkan keberadaan perempuan yang terus bertambah di bidang perkebunan, menyediakan sumber daya bagi para calon karyawan dan memotivasi para perempuan yang sedang mempertimbangkan karir di industri ini,” kata Yunita.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan secara umum perempuan di perkebunan kelapa sawit seperti para istri dan anak perempuan petani sawit, buruh itu sendiri dan atau istri buruh, lantas perempuan di sekitar perkebunan. “Beberapa investigasi dan penelitian mengungkap bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan (SW 2008),” kata Inda.
Lebih lanjut tutur Inda, sementara perempuan dalam kontruksi gender di perkebunan kelapa sawit bisa berupa pekerjaan domestik dianggap sebagai tugas bahkan kewajiban perempuan sebagai istri/ibu rumah tangga, juga berlaku bagi anak perempuan. Lantas di beberapa kasus, pekerja perempuan bahkan tidak dihitung sebagai pekerjaan yang diperhitungkan dalam ekonomi nasional.
(Baca juga:Asian Agri Targetkan Peremajaan Sawit Tiap Tahun 5.000 Ha)
“Ketika perempuan/istri/ibu melakukan pekerjaan di ranah produktif, masih dianggap membantu sehingga ‘sepertinya’ tidak terlihat serta tidak masuk dalam statistik formal,” kata Inda.
Untuk kasus buruh kebun perempuan, tutur Inda, pada umumnya perempuan hanya sebagai BHL (buruh harian lepas) sehingga tidak ada kontrak kerja dan gaji lebih kecil dari buruh tetap bekerja sesuai permintaan perusahaan. Umumnya pekerjaan berisiko tinggi (menyemprot, memupuk, membabat, melintring) terkadang pula tidak disediakan alat perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai, sehingga harus membawa sendiri. “Tidak ada asuransi kecelakaan kerja tidak ada pelayanan kesehatan. Tidak dapat bonus, THR (kecuali mencapai enam puluh hari kerja secara kontinyu hingga hari raya lebaran atau natal), dan lainnya,” kata Inda.
Bagi Rukaiyah Rafiq, dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), perempuan sawit bisa dibagi dalam dua kelompok, pertama kelompok petani swadaya dari transmigran. Biasanya petani sawit perempuan ini memiliki lahan terbatas, hanya mengelola 2-3 ha lahan. Jika transmigrasi berkaitan dengan dengan perkebunan kelapa sawit, maka lahan mayoritas sudah menjadi kelapa sawit.
Lihat Juga :
tulis komentar anda