Milenial Harus Manfaatkan Teknologi Digital untuk Kegiatan Produktif
Sabtu, 07 Agustus 2021 - 10:19 WIB
Di sisi lain, jumlah itu merupakan pasar yang potensial bagi perusahaan rintisan untuk menawarkan produknya. Masalahnya, mereka yang melek dan menguasai TI berkumpul di kota-kota besar. Mereka pula yang banyak menikmati infrastruktur internet dan pendidikan yang memadai sehingga mudah mengakses segala sesuatu yang terbaru. Perusahaan-perusahaan rintisan pun sebagian besar lahir di kota-kota besar.
Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Atsindo) Handito Joewono mengatakan, harus diakui anak-anak muda di kota lebih banyak melahirkan perusahaan rintisan berbasis teknologi. Alasannya, ekosistem, termasuk para programmer-nya, banyak bermukim di kota besar. Namun, bukan berarti tidak ada orang daerah yang melahirkan perusahaan rintisan.
Handito menyebut, perusahaan di daerah biasanya tidak banyak memanfaatkan TI. Mereka lebih banyak mengembangkan teknologi untuk pertanian, peternakan, perikanan, dan sebagainya. Dia menyarankan pemerintah memaksimalkan program Kampus Merdeka besutan Kemendikbudrisktek. Dalam program itu ada yang namanya Matching Fund. Ini pendanaan yang dilakukan perguruan tinggi kepada perusahaan-perusahaan baru.
“Akhirnya banyak menghasilkan startup di daerah. Kedua, ada program magang dan studi independen. Selama ini magang sesuatu yang biasa. Sekarang boleh magang satu semester. Banyak anak muda yang magang di perusahaan besar bisa sampai dua semester. Ini akan membuat proses pemanfaatan teknologi berjalan efektif,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Jumat (6/08/2021).
Handito menerangkan, jika daerah ingin maju dalam penguasaan dan pemanfaatan TI, mereka harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi. Lembaga pendidikan akan berfungsi sebagai fasilitator pengembangan teknologi bagi anak-anak muda di daerah tersebut. Atsindo mendorong para anak muda yang menciptakan perusahaan rintisan untuk bersabar.
Mereka harus membuat model bisnis yang jelas lebih dahulu. Tentu saja, perusahaan itu harus sudah berjalan. Jangan belum apa-apa sudah mencari investor. Handito mengungkapkan pola investor dalam membenamkan modal sudah berubah. Lima tahun lalu, para investor itu mengharapkan ide-ide kreatif.
“Idenya yang dihargai karena nanti bisnisnya sudah jalan, dia tinggal injeksi modal dan orang. Diambil alih startup-nya,” tuturnya.
Belakangan, para pemilik perusahaan rintisan menyadari itu. Mereka mulai memapankan diri dan berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan rintisan kecil. Ini mencontoh model GoJek dan Tokopedia, tapi mereka sudah skala besar. Penguatan tidak bisa lagi hanya mengandalkan investor.
“Startup kadang join venture. Banyak yang sadar kalau mengerjakan sendiri masih kurang bisa,” jelasnya.
Atsindo, menurutnya, kerap berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan perusahaan rintisan kepada para pemain baru. Atsindo juga membantu mempertemukan mereka dengan mitra di luar negeri seperti pendanaan. Tentu saja, Atsindo menyediakan mekanisme untuk saling berkolaborasi.
Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Atsindo) Handito Joewono mengatakan, harus diakui anak-anak muda di kota lebih banyak melahirkan perusahaan rintisan berbasis teknologi. Alasannya, ekosistem, termasuk para programmer-nya, banyak bermukim di kota besar. Namun, bukan berarti tidak ada orang daerah yang melahirkan perusahaan rintisan.
Handito menyebut, perusahaan di daerah biasanya tidak banyak memanfaatkan TI. Mereka lebih banyak mengembangkan teknologi untuk pertanian, peternakan, perikanan, dan sebagainya. Dia menyarankan pemerintah memaksimalkan program Kampus Merdeka besutan Kemendikbudrisktek. Dalam program itu ada yang namanya Matching Fund. Ini pendanaan yang dilakukan perguruan tinggi kepada perusahaan-perusahaan baru.
“Akhirnya banyak menghasilkan startup di daerah. Kedua, ada program magang dan studi independen. Selama ini magang sesuatu yang biasa. Sekarang boleh magang satu semester. Banyak anak muda yang magang di perusahaan besar bisa sampai dua semester. Ini akan membuat proses pemanfaatan teknologi berjalan efektif,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Jumat (6/08/2021).
Handito menerangkan, jika daerah ingin maju dalam penguasaan dan pemanfaatan TI, mereka harus berkolaborasi dengan perguruan tinggi. Lembaga pendidikan akan berfungsi sebagai fasilitator pengembangan teknologi bagi anak-anak muda di daerah tersebut. Atsindo mendorong para anak muda yang menciptakan perusahaan rintisan untuk bersabar.
Mereka harus membuat model bisnis yang jelas lebih dahulu. Tentu saja, perusahaan itu harus sudah berjalan. Jangan belum apa-apa sudah mencari investor. Handito mengungkapkan pola investor dalam membenamkan modal sudah berubah. Lima tahun lalu, para investor itu mengharapkan ide-ide kreatif.
“Idenya yang dihargai karena nanti bisnisnya sudah jalan, dia tinggal injeksi modal dan orang. Diambil alih startup-nya,” tuturnya.
Belakangan, para pemilik perusahaan rintisan menyadari itu. Mereka mulai memapankan diri dan berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan rintisan kecil. Ini mencontoh model GoJek dan Tokopedia, tapi mereka sudah skala besar. Penguatan tidak bisa lagi hanya mengandalkan investor.
“Startup kadang join venture. Banyak yang sadar kalau mengerjakan sendiri masih kurang bisa,” jelasnya.
Atsindo, menurutnya, kerap berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan perusahaan rintisan kepada para pemain baru. Atsindo juga membantu mempertemukan mereka dengan mitra di luar negeri seperti pendanaan. Tentu saja, Atsindo menyediakan mekanisme untuk saling berkolaborasi.
tulis komentar anda