Harga EBT Makin Murah, Skema Feed in Tariff di RUU EBT Tak Relevan

Sabtu, 04 September 2021 - 13:31 WIB
Marwan mencontohkan PLTS Kupang yang diteken pada 2015 mematok dengan harga listrik USD25 sen/kWh untuk jangka waktu sekitar 20 tahun. Sementara, pada 2017 dibangun PLTS Likupang di Minahasa Utara dengan harga listrik hanya USD10,8 sen/kWh. Bahkan, pada 2020 lalu dibangun PLTS Cirata 145 MW yang harga listriknya lebih rendah lagi, hanya USD5,8 sen/kWh.



"Artinya dengan perkembangan teknologi harga listrik EBT semakin kompetitif. Jadi kalau diikat dengan feed in tariff yang masa berlakunya sangat lama, ini akan jadi beban bagi PLN dan ujungnya harus dibayar oleh pelanggan atau disubsidi negara," cetusnya.

Karena itu, Marwan menilai jika pemerintah bersikeras mengadopsi skema feed in tariff yang sudah ditinggalkan di banyak negara dalam regulasi EBT, maka patut diduga motif bisnislah yang menjadi dasarnya karena hanya menguntungkan pengusaha. "Kalau pro-rakyat, jangan dengar dari sisi pengusaha saja," tandasnya.

Marwan menilai skema feed in tariff berpotensi menjadi beban berat seperti kewajiban take or pay (TOP) listrik swasta di tengah kondisi kelebihan pasokan listrik di sistem Jawa-Bali dan Sumatera saat ini. "PLN punya utang begitu banyak, salah satunya gara-gara skema TOP ini. Janganlah ditambah lagi dengan skema feed in tariff ini," ujarnya.
(fai)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More